Ads 468x60px

Via Veritas Vita



Prolog

“Via, Veritas Vita”


Hampir lima tahun saya melewati ruwet renteng hidup sebagai seorang imam muda di sebuah kota besar bernama Jakarta. Serpihan dan penggalan pengalaman hidup jasmani dan rohani serta pemaknaan hidup karya dan warta, membuat saya lebih mengenal banyak carut marut kehidupan: pelbagai gulat karakter orang, geliat diri sendiri dan lebih mengenal khalwat Allah sendiri. Pengalaman-pemahaman kegiatan hidup seperti, “dokar”: doa dan karya, “tudi”: tugas mengabdi dan studi, dan “bisul”: bina relasi dan juga merasul. “Dokar”, “tudi” dan “bisul” ini saya cecap-kecap dari tengah sampai ujung keramaian, dari pusat sampai pinggir perkotaan, dari kelas seniman, wartawan, hartawan sampai sekedar umat beriman kebanyakan. Dari yang tua-renta sampai yang baru lahir penuh gelak canda, yang kaya sampai yang tidak bisa sekolah karena kurang biaya, dari yang konglomerat sampai yang melarat. Dari yang wanginya semerbak sampai yang baunya seperti bisa ditebak, karena tidak punya banyak bak. Juga pastinya, dari perjumpaan dengan banyak rekan sediosesan dan aneka tarekat penuh berkat, yang diaku dan diampu sebagai “hiraki gereja” sekaligus “kuasa mengajar yang sah”, dengan pelbagai atribut dan kebersahajaannya masing-masing.


Yah, disinilah, saya mengenal ruang dan waktu, ruang dan waktu dalam pelbagai seginya: waktu sehat dan waktu sakit; mengenal waktu suram dan waktu cerah; mengenal waktu kerasan dan waktu bosan-bimbang; waktu sukses atau kecewa; waktu rukun atau kisruh. Itulah pebagai serpihan dan cercahan pengala”man diri yang terkenang-riang dan selintas-pintas turut saya bawa masuk khusyuk ke dalam buku “Via, Veritas, Vita” ini.

Adapun buku “Via, Veritas, Vita” ini sendiri hadir sebagai sebuah pengungkapan syukur pada ulang tahun tahbisan imamat saya yang kelima. Usia tahbisan saya sendiri baru lima tahun. Memang masih muda, tapi bukankah yang muda juga yang kerap bercerita? Bukankah bukan banyak dan lamanya, tapi bagaimana kita mencecap semua itu dalam-dalam? Satu kata dalam tradisi pertapaan para rahib Benediktin saya ingat, “ruminatio”: terus mengunyah-ngunyah dengan perlahan, sampai sungguh terasa halus benar. Selama proses “ruminatio” inilah,  pelbagai serpihan kisah yang datang dan pergi, sempalan kasih yang dating mengihami, saduran, kutipan dan terjemahan saya turut lakukan dalam proses penyusunan buku sederhana ini sekaligus sebagai sebuah proses integrasi dan internalisasi antara kegiatan dan hidup doa, antara pewartaan dan relung jiwa.

Akhirnya, sambil menulis-manis dan menyusun-rukun buku sederhana dengan tema yang terarak-serak ini, saya ingin memantapkan rasa syukur terhadap rahmat imamat, atas apa yang sudah saya capai, sekaligus membetulkan apa yang belum beres serta melengkapi apa yang belum dicapai selama ini. Dan satu hal yang saya dapatkan dari lima bab pokok yang tersebar-pencar (diskursus, pastoralia, sinemaloka, sastraloka dan pustakaloka), dimana masing-masing tersusun-rukun dengan lima sub-bab pada setiap bab utamanya (Maksudnya sih, Otak atik gathuk, sesuai dengan jumlah tahun yang saya syukuri dalam imamat), saya semakin meyakini sebuah premis iman yang secara kebetulan saya dapatkan juga di atas pusara nisan makam almarhum bapak saya, bahwa di balik semua isi buku yang sarat kata ini, Yesus adalah sang “Jalan (Via), Kebenaran (Veritas) dan Hidup (Vita)”:  Ketika tak jelas jalan mana yang saya harus ditempuh. Ketika tak cerdas kebenaran mana yang harus saya pilih dan ketika tak lugas hidup seperti apa yang harus saya maknai, saya diajak kembali ke dasar iman yang bernas, ke pokok anggur yang benar, “back to basic”. Saya sebagai “imam kecil” diajak kembali kepada “Imam” dengan huruf besar, yakni Yesus sendiri. Dalam carut-marut perjuangan sebagai yesus-yesus kecil, saya merasa indah dan menggugah ketika bisa kembali kepada Yesus besar setiap hati dahaga dan haus akan arti sebuah “jalan”, “kebenaran” dan “kehidupan”.

Satu hal yang pasti, Ignatius Loyola dalam LR. 189b menyebutkan: “Dalam segala-galanya dan di mana-mana jangan sampai menginginkan atau mencari sesuatu apapun kecuali bertambah besarnya pujian dan kemuliaan Allah. Tiap-tiap orang harus beranggapan bahwa ia hanya akan maju dalam perkara rohani sejauh ia telah meninggalkan cinta diri, kehendak sendiri dan kepentingan sendiri”. Sepakat dengan itu, semoga dengan hadir-munculnya buku sederhana ini di pertengahan tahun ini, nama Tuhan sang Via, Veritas, Vita semakin dimuliakan dan keselamatan jiwa semakin diteguhkan.


Pertapaan Gedono,
4 Agustus 2012
Peringatan St Yohanes Maria Vianney
Salam interupsi
P. Jost Kokoh Prihatanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar