Ads 468x60px

Belajar dari Sebuah Kota….

Jakarta yang semu adalah bagian dari realitas, 
dan di sini setiap orang mampu melahirkan Jakartanya sendiri….. 

Suatu ketika di Bilangan Sudirman Thamrin……….
Pada suatu masa dan tempat bernama Jakarta, ada ratusan hotel-apartamen, shopping centre-plaza, bank, café-lounge fave yang ngetrend terilhami Bugis Junction Singapura. Pelbagai fragmen ruang fisik tersebut menandai fisiogonomi metropolisnya. Di Jakarta bagian atas ini, PSK dengan handphone, farfume dan life style ala barat bisa menikmati Jakarta yang lain dalam ruang art-deco, sambil ber-enjoy ria dalam musik jazz, MTV sampai dangdut kontemporer. 

Seperti kelakar Umberto Eco, “Aku berbicara melalui pakaianku”, mereka berpolah. Di tengah geliat multimedia, pop culture-indie labels, PSK kelas atas di Jakarta ini seakan menjadi agen pembiakan globalisasi budaya barat, metropolis made-in USA: kesan the west is the best semakin marak bergerak. Ditemani pelbagai billboard iklan yang ngejreng di sentra jalan protokol, mereka seperti mesin hasrat yang selalu dahaga. Dari stiker di buskota sampai pintu warung tegal, kerap ditemui kata-kata wasiat ala Benjamin Franklin: Time is money. Uang dan waktu menjadi opium mereka, keduanya dapat dihitung dan sama-sama memacu eskalasi kegelisahan. Jelaslah, di mana ada kota-di situ ada uang. Di mana ada uang-di situ ada barang. Di mana ada orang dan barang-di situ ada pasar. Bisa jadi di hadapan pasar itu, mereka menjadikan tubuhnya sebagai barang (fetish). Implikasinya, uang adalah panglima!!! Seperti kata Cicero, tak ada benteng yang demikian kuat, di mana uang tak dapat memasukinya. 

Suatu ketika di Terminal Pulogadung …….
Pada suatu masa dan tempat bernama Jakarta: Ketika siang, matahari lurus-terik menjulurkan lidahnya, hiruk-pikuk berbaur-campur dengan kemacetan jalan. Malamnya, aneka panorama nyata di Jakarta bagian bawah ini: seorang pelacur muda berbedak tergopoh-payah menawarkan diri pada setiap mobil yang lewat. Seorang mami germo duduk asyik merokok dalam malam sepi-seperti mandor yang mengawasi anak-buahnya. Belum lagi belasan waria, preman, calo dan pungli yang menambah rasa tidak nyaman. Pelbagai fragmentasi sosial dengan alasan rust et orde kian memenuhi carut-marutnya wajah Jakarta bagian bawah ini. 

Ya, di Jakarta, nyata jerit kaum tertindas yang tak bisa menjerit. Di Jakarta: siapa lemah-mudah disepak. Jakarta bagi pelacur kelas bawah ini adalah via dolorosa, jalan kesengsaraan-dukha. Pertanyaannya bukan adakah atau siapakah yang bersalah dalam pelacuran ini? Tapi pertanyaan Jakarta adalah: siapa yang peduli, apa bedanya pelacur atau hewan? Apa bedanya sepuluh atau seratus pelacur mati atau sakit ketika digaruk, dipenjara atau terkena penyakit HIV di sebuah kota dan saat, bernama Jakarta, jika mereka kaum miskin? itu salah mereka sendiri!!! Hemang Ike Vikirin! Auk Ahh Elap!!!

Berangkat dari Konteks
Pada mulanya adalah gaya hidup. Lewat gaya hidup ini, Di Jakarta, ada semacam kondisi bahwa kita harus siap menghadapi kejutan karena begitu cepatnya perubahan. Suatu waktu Jakarta mendadak menjadi amat peduli pada goyang sepasang pinggul empunya Inul. Suatu lain-ketika banjir dan penggusuran melanda, tiba-tiba begitu hiruk-pikuk. Saat lain-ketika medio Mei 1998, Jakarta begitu lengang seperti kota mati. Saat lain-begitu biadab ketika banyak bom meledak di mall dan gereja-gereja. Di Jakarta nyata adanya benturan, hingga tercipta karakter masyarakat urban yaitu anonimitas dan mobilitas. Maka, wajarlah jika seseorang kerap hidup lewat pelbagai benturan, entah ekonomis, psikologis, etis, sosiologis. 

Di lain segi, lewat perjumpaan keseharian dengan mobilitas dan anonimitas dikota bernamaJakarta ini, kita kerap melihat pelbagai manipulasi atas realitas; kegamangan masa depan dan kedangkalan hidup; maraknya sikap hedonisme, dan mudahnya mereka membuang segala sesuatu termasuk nilai-nilai. Segala nilai dan otoritas telah di-demistifikasi-kan oleh mereka. Tak ada lagi nilai dan otoritas yang sungguh dianggap sakral. Modernitas dengan roh sekular, konsumerisme dan liberalismenya adalah sesuatu yang amat sulit dielakkan. Bukan karena ia merupakan roda raksasa yang otoriter menggilas segala pola kultural, tapi karena ia tampil justru sebagai ideal yang memikat, centil menggoda dan piawai menjanjikan ekstase kenikmatan di tengah arus dunia kontemporer. 

Padahal kalau mau dilihat secara lebih mendalam, sebetulnya banyak diantara kita ada dalam ketidakpastian dan penantian, yang terpisah dari afeksi pun empati, yang terpinggir oleh ganasnya stigma masyarakat, yang terceraikan dari kerabat dan sahabat, yang tersingkirkan dari orangtua dan mertua. 

Sebuah Refleksi Tentatif
Seperti ramalan Celestine, pelbagai kejadian hidup dan fakta realitas sosial bukanlah sekedar kebetulan belaka. Bila pelbagai kejadian itu dipertemukan, dirangkai menjadi sebuah untaian, maka akan lahirlah makna serta pesan yang berguna. Perjumpan dengan orang orang kecil pun bukanlah sesuatu yang kebetulan. Sayang, benar-benar sayang kalau makna perjumpaan ini betul-betul….nyaris tak terdengar. 

Semua orang kecil (bahasanya Ellacuria: the crucified people) tak boleh dianggap in-absentia, sebab bisa jadi mereka adalah guru yang istimewa-teruji dalam membimbing kita untuk mengenal siapakah sesungguhnya Allah. Kita bisa belajar menghayati nilai Kerajaan Allah dari “rakyat yang tersalib”: yang kecil-lemah-miskin dan tersingkir, karena merekalah yang empunya Kerajaan Allah. (Mat 5:3). Sebetulnya, perjumpaan kerap berporos pada “to be sensitive to the reality”, Di tengah adzan parau dan lonceng surau hidup ini, saya merasa bahwa kita semua dipanggil untuk berani berjalan bersama dalam gerak ahimsa, terlebih berjalan bersama orang-orang yang tersingkirkan. Pacem in Terris!!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar