Ads 468x60px

Orang Muda dan Nasionalisme


I. Masyarakat: Bhineka yang tidak Ika lagi?
Di Channel NewsAsia, malam ini baru saja saya selesai melihat siaran dan putaran pentas kolosal dalam rangka ulang tahun ke 48 bersama para founding fathers dan mothers di sebuah ruang bersama bernama Negeri Singapura. Sebuah pentas ulang tahun negeri Singapura yang menggugah dan menggugat rasa kebangsaan mereka dengan digawangi oleh banyak potensi dan sinergi kelas menengah serta warga berusia muda. Tremens et fascinans! Jujur, hati saya tergigit oleh karung marung pertanyaan sekaligus pernyataan, bagaimana dengan negeriku sendiri sekarang ini menjelang hari jadinya yang ke 68, yang lebih tua 20 tahun daripada Singapura, yang sempat dijuluki sebagai "Macannya Asia?"
Ya, sebagai anak muda yang kebetulan lahir di bumi nusantara wajar jika saya kerap bertanya: “Siapa sih sebenarnya orang Inlander, Bumiputera, Fillius Terrena alias rakyat Indonesia? Apa seperti wajahnya Bung Karno, Mbah Harto, GusDur, Kardinal, Romo Mangun, Jokowi, Ahok…atau Inul Darastita dan Soimah....atau seperti anak-anak ABG di mal-mal, atau…seperti wajahnya para gelandangan di perempatan jalan-jalan protokol atau seperti mereka yang hanya berkoteka tanpa asyik bertiki taka? 

Yang pasti, rakyat Indonesia memang bukan penduduk kontinental darat yang kompak bersinambung seperti Rusia, Cina, atau Amerika Utara. (Bahkan orang Eropapun, yang negerinya relatif tidak luas, membutuhkan proses seribu tahun untuk memulai kesadaran baru tentang kesatuan Eropa). Negeri Indonesia ini seluas jarak London sampai Moskwa, Stockholm sampai Roma, dan sebagian besar terdiri dari lautan serta selat-selat yang mengeping-ngepingkan tanah air menjadi serakan pulau-pulau lepas. Ribuan pulau dan ratusan bahasa pun adat istiadat mewarnai nusantara. Maka, keberhasilan ide Negara Kesatuan Republik Indonesia suatu masterpiece, nyaris mukzizat. Tapi, fakta di atas melahirkan suatu kesadaran baru, yakni multikultur. 

Multikultur, sebab bangsa ini sungguh suatu bangsa yang besar dan berbhineka raya akan sumber daya alam dan manusianya. Multikultur adalah suatu modal dasar bangsa yang potensial untuk menjadi suatu masyarakat yang sungguh pantas hidup dalam peradaban modern ini. Sungguh multikultural atau kebhinekaan ini suatu anugerah yang sangat besar bagi bangsa. Yang kerap saya ingat adalah kebhinekaan ini bisa menjadi bom waktu, tapi juga bisa menjadi tumpuan harapan bagi banyak orang. Tinggal bagaimana kerterbukaan kita, pada kemajemukan di sekitar kita sungguh terjadi. Pun, bagaimana toleransi pada mekar-indahnya taman bunga pluralitas tanah air kita, juga menyediakan tempat untuk menyalurkan pelbagai potensi, termasuk juga pelbagai potensi kaum mudanya. 

Dengan kata lain, Bagaimana kita dan banyak rekan sebangsa bisa memberikan banyak ruang publik yang demokratis bagi semua komponen yang membentuk bangsa res-publica ini: Bagi perjuangan para buruh serta pemulung di pinggiran, suka-duka anak jalanan dan pedagang asongan di seputaran jalan protokol, derita para nelayan-nelayati serta para petani, usaha gerilya para kuli tinta, aneka komunitas lintas agama-budaya, pun para selebritis: politikus, businesman-busineswoman, seniwan-seniwati, aktor-aktris. Juga para mahasiswa/i, dan terlebih bagi para ‘korban kehidupan’; pencandu narkoba, pelacur kelas bintang lima sampai Kramat Tunggak pun waria Taman Lawang, tukang becak, sopir angkot, juga para cacat dan narapidana misalnya. 

Dari segi lain, saya mengambil petuah orang Latino: ‘Tempus mutatur et nos mutamur in illud’ (Waktu berputar dan kita diubah olehnya). Kini, waktu ternyata tak hanya berputar, tapi juga berlari (menyitir istilah para pemikir postmodernisme). Secara jujur, kita sudah memasuki pelbagai realitas baru: kaya warna-kaya nuansa dan kaya citra. Ketika dunia kita berlari kencang tanpa kendali pasti, ketika sebagian besar masyarakat bergumul di tengah lalulintas perkelahian hidup modernitas yang penuh kebisingan dan kekejaman, kaum muda kita juga mengalami situasi tercerabut dari akar, serba terpencar, lepas dari ikatan teritorial yang tetap dan aman. Padahal kaum muda adalah gambaran masa depan dunia kita yang akan datang. Kita perlu bicara dari konteks : Lex agendi, lex essendi. Seorang Mangunwijaya pernah kasak-kusuk: “Gereja (baca:kita) kita itu lebih suka ‘retreat’, condong introvert: asyik-khusyuk-masyuk dalam oase keaman-mapanan yang teduh, sejuk pun damai. Padahal banyak sekali problematika yang menggelayuti dunia kita yang tersebar pun terpencar.” 

De facto, Gereja adalah simbol kesucian utopis, lembaga yang lambat bergerak, kebanyakan birokrasi. Anak muda (“aktivis”) lebih senang punya kegiatan di luar gereja: aspirasi, idealisme. Pelbagai permasalahan ini tentu tak bisa lepas dari konteks jamannya, yakni imbas globalisasi. Globalisasi telah membuat pelbagai tradisi lama yang cenderung dogmatis menjadi berguguran di mata anak muda. Globalisasi adalah konteks abad 21 - sebuah keterhubungan (interconnectedness) segala pelosok dunia - ketika ruang dan waktu jadi tidak penting lagi. Globalisasi adalah kekuatan yang mengubah kehidupan sosial jaman ini. Gejala globalisasi sungguh berimbas pada hidup bersama, keluarga, identitas pribadi dan juga kehidupan anak muda serta pendidikan nilai-nilainya. Konteks globalisasi membuat kaum muda dapat secara otonom memilih pengetahuan yang dia sukai. Dalam angin jaman yang berhembus, diyakini bahwa roh perubahan bekerja juga lewat daya-daya penggerak yang ada dalam diri manusia atau bahasanya Konsili Vatican II: on-going-aggiornamento (terus ber-hari kini dan disini) atau “berbhineka tapi tetap ika.”

III. Berani Berkontak: Sebuah Alternatif 
Bangsa (dan Gereja kita) adalah warga dunia, bukan sekte atau suku terasing yang menutup diri. Misalnya, enam puluhan tahun, bangsa ini berdiskusi tentang usaha melek huruf bagi kaum terbelakang yang belum dapat membaca dan menulis. Namun diam-diam, bangsa kita kini sedang masuk dalam dunia zaman baru dengan orang-orang “buta huruf” jenis baru, yakni mereka yang gatek (gagap teknologi). Bingung ketika berhadapan dengan bahasa Inggris, tuts komputer dan matematika modern. Maka, bangsa kita tetap perlu terus berinteraksi dengan segala diversitas pemikiran dan budaya universal. Bangsa ini perlu memberikan banyak ruang publik bagi segala potensi, khususnya potensi kaum muda yang plural. Bahasanya Romo Mangun, yakni menjadi generasi pasca Indonesia-Pasca Einstein, tanpa harus kehilangan jatidiri tentunya. 

Kini, di tahun 2013 - dengan budaya virtual reality yang makin menderas sekaligus mengaras- banyak orang muda yang mungkin darah dan kulitnya asli langsat duku atau sawo matang, tetapi lebih nyaman bercelana blue jeans ala Westlife daripada berbatik ria ala priyayi. Yang sukanya musik jazz atau rock daripada gamelan. Yang punya impian kuliah di Harvard, Cambridge, Oxford daripada di Gajahmada misalnya. Yang lebih tahu riwayat hidup Britney Spears daripada R.A Kartini apalagi Cut Nyak Dhien. Tidak tepatlah rasanya mereka melulu disebut kebarat-baratan, atau terkena amerikanisme. Lebih tepatlah, kiranya proses yang sedang dialami ini dilihat sebagai suatu gerak global planeter yang evolutif. 

Kita bisa melihat sebuah contoh positif dari imbas globalisasi yang melanda, yakni munculnya banyak volunteer dan watchdog kritis yang muda usia, yang concern pada situasi kemasyarakatan aktual. Belum lagi banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat serta tim relawan yang berisikan dan berbasiskan anak-anak muda. Belum lagi maraknya gerakan-gerakan moral yang dimotori para mahasiswa. Banyak dari rakyat kita (khususnya kaum muda) yang sungguh ingin menciptakan lingkungan yang fair flay, transparan dan kondusif. Sebetulnya, yang melulu ricuh itu adalah yang di atas (golongan elit, yang sebetulnya tidak elit). Yang di bawah, grass root, terus berkembang. Ketika banjir melanda, masyarakat langsung membuat banyak dapur solidaritas dan dompet peduli. Ketika ada isu kerusuhan, masyarakat langsung siskamling. Ketika ada yang kurang beres pada struktur pemerintahan, ada saja masyarakat yang berunjuk rasa. 

IV. Kaum Muda: Agen dan Garda Depan Perubahan
Jugend hat keine Tugend (anak muda tidak punya keutamaan). Demikian bunyi pepatah dari negerinya Adolf Hitler dan Steffi Graf. Sepintas kita mengiyakan ucapan itu, manakala kita mengingat pelbagai fenomenum, seperti: tawuran pelajar, demo manipulatif mahasiswa, konvoi bising anak-anak yang lulus ujian, korban-korban narkoba, maraknya seks bebas dan corat-moret grafitti. Menjengkelkan!! Tapi, kita juga kerap melihat bahwa anak-anak muda juga bisa membawa perubahan yang sangat baik bagi kehidupan bangsa ini. Sebagai contoh lain, tahun 1998-ketika krisis menerpa, tiba-tiba teman-teman mahasiswa bergolak. Saya yang waktu itu juga duduk di bangku kampus filsafat melihat jelas bahwa tanpa ada koordinasi serta strategi yang apik dan cantik, hampir semua kampus di Indonesia serempak berdemonstrasi menuntut perubahan. Keserempakan ini demikian kompak, spontan, berani dan membawa banyak perubahan yang nyata dan berarti luas.

Kita bisa mengamati secara empiris, dalam sejarah bangsa ini, anak-anak muda telah membuktikan diri dapat menjadi agen perubahan sejarah. Kita melihat pergerakan kebangkitan nasional tahun 1908 ala Budi Utomo yang dimotori kaum muda. Pergerakan tahun 1928 dengan Sumpah Pemudanya oleh para jong dari pelbagai daerah di nusantaraku - melahirkan dictum: satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air. Pergerakan tahun 1945, ketika para pemuda secara proaktif ‘menculik‘ generasi tua (Sukarno-Hatta) ke Rengas Dengklok, supaya berani memproklamasikan negara kesatuan Republik Indonesia. Bagi saya, yang juga cukup nyata, adalah pergerakan mahasiswa tahun 1966. Kaum mudalah yang menjadi agen utama yang menggulingkan Orde Lama-dan melahirkan Orde Baru. Bagi saya, gerakan kaum muda tidak bisa dianggap remeh temeh. Ketika kaum muda bergerak, rakyat mendukungnya. Kekerasan militer dan pelbagai represi tidak dapat menghalangi laju gerakan kaum muda. Malah, saya merasa ketika Arief Rahman hakim gugur oleh peluru pasukan Cakrabirawa, gerakan mereka makin menjadi-jadi. Setiap darah yang tertetes, jadilah ribuan raksasa. Begitu si Arief ini gugur, kekuatan mahasiswa bersama rakyat menjadi kekuatan magis yang sanggup menjungkirbalikkan kekuasaan setangguh apapun. 

Historia se repete (sejarah selalu terulang), begitulah yang terjadi dengan bangsa ini. Pergerakan mahasiswa tahun 1998 adalah buktinya. Saya melihat bahwa ketika para mahasiswa bersatu dan bergerak, terjadilah suatu perubahan. Bagiku beralasanlah jika para kaum muda (mahasiswa) yang terpilih oleh sejarah untuk menjebol kemandekan. Sebab kaum muda adalah anak-anak sejarah yang paling bisa dititipi oleh sejarah untuk menentukan dan mengurus masa depan. Saya melihat semangat kemudaan membuat kaum muda berpikir ke depan, bukan asyik-masyuk dengan nostalgia masa lalu. Kaum mudalah yang bisa mematahkan tirani masa lalu, membebaskan diri dari penjara tradisi menyesakkan, serta membongkar ritualisasi yang tidak relevan dengan kebutuhan zamannya. 

Meminjam istilah Jurgen Habermas, bangsa ini (juga gereja kita ini) sungguh perlu suatu rasionalitas komunikatif. Artinya bangsa (dan gereja yang sehat) adalah juga bangsa (dan gereja) yang memberi ruang fair flay dan kondusif bagi proses komunikasi yang cerdas dan bebas dari segala bentuk non-demokratis. Saya merasa bahwa kita bisa memulainya dengan memberikan banyak pengalaman dan kesempatan kepada teman-teman muda (yang kini terkesan masih ‘malu-malu kucing’) sehingga berani untuk berbuat dan mengembangkan segala potensi mereka yang kerap dimampetkan. Jika itu tercapai, saya yakin generasi muda Indonesia ‘cerdas’ yang kritis dengan pembentukan dirinya sendiri menuju ke otonomi yang mendewasa (mündigkeit) akan terwujud. 

Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa hampir semua “organisasi pemuda” di bawah payung Katolik lagi melempen/memble. Banyak mudika yang tidak langsung tertarik dengan PMKRI, KMK, atau Pemuda Katolik. Banyak paguyuban mudika yang sulit ngumpul , apalagi buat aksi. Nah, kalo kini banyak ormas-ormas Katolik kaum muda banyak ditinggalkan, tidak ada peminat, bahkan kehilangan misi, jangan-jangan pelbagai ormas tersebut tidak menjawab kebutuhan bersama. Kita perlu sadar bahwa gereja hanya dianggap sebagai salah satu fasilitas yang ada dari sekian banyak lainnya dalam masy. 

Suka atau tidak suka, selama ini, Gereja adalah simbol kekuasaan yang berwajah tua dan feodal. Dihuni oleh “orang-orang tua” yang kadang dicap “kolot” dan dianggap “lambat”, terlebih kadang tercandra juga adanya “filosofi panjat pinang”: ketika ada salah satu anggotanya yang mau “naik”, ada saja sesamanya yang seiman atau seimam yang malahan sibuk menurunkannya, tentunya dengan pelbagai friksi intensi dan motivasi. Hal ini tidaklah sejalan dengan arus globalisasi, dimana segalanya bisa berubah dg cepat. Dunia ini tunggang langgang atau: begitu mau dipegang, dia luput seperti belut. Anak muda kini juga tunggang langgang karena dunianya juga sedang tunggang langgang. Gerejapun kerap tunggang langgang tuk pegang kaum muda. 

Juni dan Juli tahun 2013 ini, saya mendampingi retret rohani para guru SMU Regina Pacis Surakarta yang dikelola oleh para biarawati Ursulin dan SMU Albertus DEMPO Malang yang dikelola oleh para biarawan Karmelit. Beberapa guru meenyatakan bahwa ketika melihat para anak didiknya sepintas, kita mungkin hanya akan melihat anak-anak muda sebagai generasi penikmat, dengan mentalitas junk food (serba instant) atau generasi penyusu. Dengan hand phone/smart phone di tangan dan walkman dan sebagainya di telinga, mereka asyik-masyuk dengan dunianya sendiri. Tapi, kalau diamati lebih lanjut, di sisi yang lain, ada juga banyak anak muda yang suka berdiskusi serius soal masalah keluarga, sosial kemanusiaan, agama dan politik. 

Maka, sesungguhnya terdapat dua kutub dalam kehidupan kaum muda saat ini: Pertama, mereka diberi stigma sebagai generasi penjelajah mall dengan sub kultur MTV dan dunia baratnya. Kedua, kelompok yang antusias berdiskusi pelbagai masalah kemanusiaan pada level lokal, nasional dan global. Revolusi Damai 1998 di MPR/DPR dan maraknya volunteer kemanusiaan dari orang-orang muda adalah hasil kerja dan potensialitas mereka. 

Berangkat dari dua fenomen di atas, generasi muda (orang-orang yang sedang asyik-asyiknya menikmati pahit getirnya potret pendidikan kita) - generasi yang kerap kita sebut generasi X - kini bisa kita sebut juga dengan suatu istilah baru, yakni: generasi X’cellent. Kaum muda adalah potentia yang menunggu untuk diactuskan oleh orang yang tepat dan pada saat yang tepat juga. Karena kaum muda adalah calon garda depan masyarakat dan agen-agen perubahan budaya atau gaya hidup masyarakat yang paling efektif. Kaum muda sungguh-sungguh menunggu para pendidik dan yang pasti sistem pendidikan yang benar benar tepat dan mumpuni atau nancep di hati sanubari mereka. Sehingga pelbagai nilai pendidikanpun bisa lebih masuk ke hati mereka. 

Amartya Sen, pemenang nobel ekonomi, berucap “keberhasilan pembangunan tidak semestinya diukur dengan tingginya tingkat growth, tapi apakah pembangunan itu mendukung manusia-manusianya untuk menghayati kebebasannya.” Dari pernyataan Amartya Sen di atas, saya juga ingin bertanya: “Apakah bangsaku sudah sungguh-sungguh merdeka dan memerdekakan manusia-manusia merdekanya?” Bagi saya dan bagi banyak anak negeri yang tergugah dan haus akan kesejajaran bangsa Indonesia dengan bangsa lain...., tentu sudah layak dan sepantasnya tidak berdiam diri terhadap wajah tanah air kita. Sayang, benar-benar sayang kalau bangsa kita (yang sungguh-sungguh raya dan berbhineka dengan rayuan pulau kelapanya ini) memang betul-betul….nyaris tak terdengar… 

V. Epilog: Berjalan Bersama demi Indonesia Raya 
Menyitir paparan Bung Karno bahwa “Kemerdekaan bangsaku adalah jembatan emas.” Bagi saya, jembatan adalah sarana untuk dilewati. Kemerdekaan bangsa Indonesia hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih luhur, yaitu kemerdekaan manusia-manusia Indonesia. Bentuk-bentuk Aku-Cinta-Indonesia generasi kini dan akan datang pasti akan lain ekspresi dan bahasanya daripada yang dilakukan Generasi “repotnasi” dari tahun ’08, ‘28, ’45, ’66 ataupun Generasi “reformasi” tahun ‘98. 

Kesadaran ini menuntut banyak hal dari kita. Saya yakin bahwa kaum muda adalah calon garda depan masyarakat dan agen-agen perubahan budaya atau gaya hidup masyarakat yang paling efektif. Semua komponen rakyat tentunya tak boleh melupakan sejarah, bahwa kerap pembaruan yang terjadi di dunia (juga di negara ini) biasanya dibawa dan dirintis secara kritis oleh orang-orang muda yang bersemangat demi suatu dunia yang lebih baik. 

Yah, bangsa ini perlu berjalan bersama. Juga dengan semua teman-teman muda. 
Berjalan berarti melangkahkan kaki ke depan: satu-dua, kanan-kiri, maju terus pantang mundur (bukannya mundur terus pantang maju). 
Berjalan berarti melangkahkan kaki ke depan: satu-dua, kanan-kiri. (Tapi, jangan kaki kiri menjegal kaki kanan, nanti kesrimpet dan jatuh sendiri). 
Berjalan berarti melangkah kaki ke depan: satu-dua, kanan-kiri, memandang ke depan, perkecil menengok kebelakang (apalagi jalan di tempat, terlebih lagi berhenti). 
Berjalan berarti melangkah kaki ke depan; satu-dua, kanan-kiri akan lebih indah jika tak jalan sendiri (nanti bisa ‘ngos’). 

Lebih baik, berjalan bersama sembari bergandengan tangan (supaya bisa ‘joss’): bergandengan pikir, bergandengan hati, menyatukan visi, misi dan mimpi demi satu negeri pertiwi yang semakin kokoh. 

Pokoknya, bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Seperti teriakan yel-yel orang muda yang antusias berlomba bakiak ketika pesta agustus-an di RT/RW: ”Kanan, kiri, kanan-kiri, kanan kiri: (Kembalikan kepercayaan diri-satukan kembali nurani). Kanan, kiri, kanan-kiri, kanan kiri: (Tautkan tekad di hati-eratkan persatuan negeri). Kanan, kiri, kanan-kiri, kanan kiri: (semoga semangat sambung menyambung menjadi satu bangkit lagi, bersama kaum muda). Ut Omnes Unum Sint. ”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar