Ads 468x60px

Tanggap Zaman !


Gereja hic et nunc tak lepas dari sejarah. Sejarah tak lepas dari memoria. Memoria adalah keyword dalam pelbagai ajaran sosial gereja. Locus theologicus gereja bukanlah sistem, tapi sejarah, khususnya sejarah korban: ‘the crucified people’. Dimensi solidaritas (bahasanya Adorno: membangunkan yang mati) menjadi intisari ajaran sosial gereja. Solidaritas lebih inklusif daripada konsensus. 


Melihat Teks Sejarah: Sebuah Data 
Dari kacamata historis global, sejak perkembangan Revolusi Industri (penemuan mesin uap, 1769), dan masa revolusi di Eropa Barat-Amerika Utara serta masalah restorasi (1789-1848): massa buruh berjubel-jubel di kota-kota besar tanpa jaminan. Maka, timbullah pelbagai masalah sosial baru (al: upah adil, kepastian tempat kerja, hak mogok), yang pada dasarnya mempersoalkan struktur masyarakat. Bagi Gereja, jaman perubahan politik itu adalah masa ‘sekularisasi’, waktu Gereja Katolik di Italia, Perancis dan Austria-Jerman kehilangan kedudukan politik dan miliknya. Masa gerakan kaum buruh (biasanya dikenal dari terbitnya manifesto komunis sampai PD I, 1846-1914) dan Rev Industri I goyahkan masyarakat, pun menimbulkan masalah sosial baru. Maka Gereja berupaya mencari jawab atas perubahan struktur sosial. Sejak itu sampai sekarang, muncullah respon dari Gereja Katolik (Ajaran Sosial Gereja). Gereja mengembangkan analisis sosio-filosofis untuk menghasilkan prinsip-prinsip sosial umum bagi masyarakat. Argumentasinya bercorak filosofis, tapi inspirasinya ditimba dari iman Kristiani. Ajaran sosial inilah yang kerap juga memacu gerakan komunitas basis dan teologi pembebasan. 
Sedangkan dari konteks lokal, menyitir pernyataan para uskup se-Asia (FABC), yang kerap dikutip oleh para uskup dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia: “Gereja tak dapat menunaikan misinya tanpa bersifat lokal. Gereja hanya menjadi Gereja jika mendarah daging, di tempat yang khusus dan waktu yang khusus pula.“, de facto Gereja banyak mengembangkan ajaran-ajaran di bidang sosial-politik tapi tampaknya luput bahkan tidak diketahui oleh mayoritas umat Katolik Indonesia. Maka, pertanyaannya, Mengapa ajaran-ajaran itu sampai menjadi ”mutiara yg terpendam”? 

Melihat Konteks Zaman: Sebuah Fakta
Kita perlu sadar bahwa di tengah di tengah tingginya mobilitas-anonimitas (Harvey Cox, Secular City), Gereja hanya dianggap sebagai salah satu fasilitas. Kerap Gereja di mata kita adalah simbol kekuasaan berwajah tua-feodal. Ini tidaklah sejalan dengan arus zaman dimana segalanya bisa berubah cepat. Dkl: ketika orang sibuk bicara tentang pentingnya panutan, orang semua tahu bahwa panutan terbaik adalah dirinya sendiri. Inilah zaman dimana segala nilai di-demistifikasi-kan. Tak ada nilai dan otoritas yang sungguh dianggap sakral. Modernitas dengan roh sekular, konsumerisme dan liberalismenya adalah sesuatu yang amat sulit dielakkan. Bukan karena ia merupakan roda raksasa yang otoriter menggilas segala pola kultural, tapi karena ia tampil justru sebagai ideal yang memikat di tengah arus dunia kontemporer.

Maka, sangat bisa jadi, solidaritas Gereja terhadap korban, (yang terwujud dalam ajaran sosial), di antara umat Katolik di Indonesia, sepintas lalu rasanya seperti melaksanakan yang ditulis Yohanes: “berseru-seru di padang gurun” (Yoh 1:23). Mengapa? Padahal korban adalah guru istimewa dalam membimbing kita untuk mengenal siapa sesungguhnya Allah. Kita bisa belajar menghayati Kerajaan Allah dari “rakyat yang tersalib”:kecil-lemah-miskin-tersingkir, karena merekalah yang empunya Kerajaan Allah. (Mat 5:3). Seorang teolog pembebasan, Jon Sobrino menegaskan bahwa tanpa memperhitungkan kenyataan dunia para korban ini…,iman berada dalam bahaya menjadi tidak nyata, jatuh pada docetisme realitas.

Melihat Praktek: Sebuah Ideal
Mengacu Karl Rahner, Gereja akan hadir secara nyata kalau membaharui diri terus menerus (a church in permanent genesis), maka muncul pertanyaan: sejauh mana Gereja mampu terus lahir baru dan menjadi penggerak bagi hidup bersama serta kekuatan dinamis bagi tumbuhnya kesadaran-demi suatu tata dunia baru? Disinilah kita ditantang untuk menemukan peluang dan praktek cinta kasih kristiani dalam dunia sekular-dengan semangat dasar “memuliakan Tuhan dan mengangkat manusia”. Demikianlah umpan telah dilempar ke air, adakah ikan kan terpancing, ataukah cuma sekedar gelombang kecil yang menyebar?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar