Ads 468x60px

Kamis 10 Oktober 2013


“Omnis enim qui petit accipit, et qui quaerit invenit, et pulsanti aperietur!”
 Mal. 3:13–18, Luk. 11:5–13

“Omnis enim qui petit accipit, et qui quaerit invenit, et pulsanti aperietur - ‘Setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Inilah harapan yang diberikan Yesus hari ini bahwa doa adalah tindakan “prodia (PROaktif, DInamis dan Aktif) untuk “meminta agar mendapatkan, mencari agar menemukan dan mengetuk agar dibukakan.” Hal ini didasari keyakinan dasar bahwa Allah adalah Bapa kita yang penuh belaskasihan dan kerahiman.

Di lain matra, menarik juga bahwa Yesus pernah mengatakan: "Dalam doamu, janganlah kamu bertele-tele, seperti kebiasaan orang tidak mengenal Allah." Rupanya, pada jaman Yesus pun, ada kenyataan bahwa orang suka bertele-tele dalam berdoa. Anehnya, di jaman ini pun, kita tidak sulit menemukan contoh doa bertele-tele itu: entah isinya, caranya, kata-katanya, nadanya ataupun waktunya

Mengacu pada buku saya, “Via Veritas Vita”, adapun tiga karakter dasar doa yang baik untuk kita ingat, al:

1. Doa itu mesti berpola salib:
Hal ini berarti tidak hanya “aku dan Tuhan” (vertikal), tetapi juga “aku dan sesama” (horisontal) juga. Artinya, pelbagai doa apa pun, betapapun bagusnya kata dan indahnya nuansa, jika tidak bermuara dalam relasi dengan sesama, menjadi hambar dan mungkin malah kehilangan nilainya. Tak ada gunanya kita berdoa "ampunilah aku Tuhan" tapi kita tak mau mengampuni orang lain. Atau 'berilah kami rejeki", sementara kita sendiri tidak pernah mau memberi. Karena itu Matius menuliskan sebuah pesan Yesus: "jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu .akan mengampuni kamu juga. Jika tidak, .Bapamu juga tidak akan mengampunimu juga.”

2. Doa itu mesti bermuara ke dalam hidup kita:
Ia mesti diwujudkan dalam hidup bersama orang lain: "Jangan minta, jika tidak pernah rela memberi!" Itulah sebabnya, semakin kita berinteraksi dengan sesama, kita tak akan berdoa bertele-tele. Doa akan mengangkat pengalaman hidup nyata dan sebaliknya, kita akan hidup lebih kaya makna dari inspirasi doa-doa kita.

3. Doa adalah napas kehidupan umat beriman:
Tanpa napas, kita tak mungkin terus hidup. Maka semua usaha, pekerjaan, rencana dan perjuangan tanpa disertai doa, tidak memiliki jiwa yang kuat. Benar kalau orang mengatakan bahwa doa yang sungguh-sungguh akan membersihkan hati dan membuat kita peduli pada orang lain.

“Dari Tarsus ke Maluku – Yesus Engkau sungguh andalanku.”
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!


NB:
Ada beberapa contoh ekstrem soal berdoa yang kurang begitu baik, diantaranya:

1. Ada yang menganggap doa itu seperti mantra, maka punya kekuatan tertentu bila didoakan. Yang sefaham dengan ini akan berdoa dengan teliti, tertib, setia, tak salah ucap, tak salah tempat/saat, bahkan tak boleh terlambat dll. Ekstremnya, di sini doa seperti magic: “sim salabim, abra gedabra bra.”

2. Ada yang menganggap doa itu seperti surat. Kalau sekali belum terkabul, mungkin belum sampai, maka diulangi lagi, dikirim surat (doa) berikutnya.

3. Ada yang menganggap doa itu seperti HP, alat komunikasi. Kalau perlu saja berdoa. Makin canggih HP-nya (doanya) makin mungkin pula komunikasinya sampai.

4. Ada yang menganggap doa seperti proposal. Makin pandai merumuskan, makin mungkin terkabul. Buat mereka, doa berarti permohonan, tapi seringnya untuk kepentingan diri sendiri.

5. Seperti uang pelicin. Untuk melicinkan pemberian Tuhan. Barangkali ini yang membuat orang secara tidak sadar menambah uang kolekte/sumbangan, atau jumlah lilin yang dinyalakan serta ziarah yang diikuti.

6. Ada yang seperti senapan. Makin diberondong, maka Tuhan semakin mudah mengabulkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar