Ads 468x60px

Natal: Back To “Happy, Healthy, Holy”

(Inspirasi Dasar dari alm Rm Darmawidjaya).

Firman itu telah menjadi daging
dan berkemah di antara kita
dan kita telah melihat kemuliaannya
kemuliaan anak tunggal Bapa
penuh kasih-karunia dan kebenaran (Yoh 1:14)
 

Kutipan di atas kerap kali merupakan nukilan dari bacaan Injil dalam misa pagi perayaan Natal. Misa itu merupakan misa terakhir dalam rangkaian perayaan Natal, yang dimulai pada tengah malam, kemudian fajar dan akhirnya pagi. Bersama dengan bacaan dari Yes 52:7-10 yang menyerukan betapa indah di bukit-bukit langkah-langkah orang yang membawa kabar sukacita, Allah menghibur umatNya disaksikan seluruh alam semesta dan Ibr 1:1-6 yang menegaskan bahwa Allah sudah dengan aneka cara menyapa manusia, tetapi akhirnya menyapa dalam diri AnakNya yang terkasih, bacaan misa pagi itu memberikan cakrawala yang amat luas bagi karya keselamatan Allah. Cakrawala sejarah dunia yang direnungkan dengan sikap kontemplatif dan doa yang amat kusyuk!

Renungan itu dihiasi dengan fragmen kidungan yang amat merdu, dimulai dengan kekaguman akan betapa cepat dan sigap seorang pewarta lari dengan penuh gairah membawa warta gembira, sedang seluruh alam semesta menjadi saksi gairah dan kegembiraan itu. Reruntuhan kota Yerusalem bangkit kembali, anak-anak penduduk kembali dari pembuangan dengan penuh kebanggaan, melewati jalan-jalan dan lorong-lorong dengan damai. Apa yang dialami itu ternyata hanya merupakan fragmen kecil dari karya Allah yang jauh lebih agung, sebagaimana diungkap dalam Ibr 1:1-2. Di masa lalu Allah telah berbicara dengan pelbagai cara kepada leluhur dengan perantaraan para nabi, tetapi kini Allah menyapa kita dengan perantaraan AnakNya! Sungguh suatu hubungan yang amat pribadi dan menyentuh! Bahkan surat itu menegaskan lebih lanjut, betapa bermutu AnakNya itu, karena di dalam Dia seluruh alam semesta diciptakan, maka Ia adalah pewaris semua yang ada! Anak itu menerima semua yang ada dan dibaharui: langit dan bumi menjadi baru –bdk. Yes 65:17; Why 21:1– semuanya dibangun dengan citraNya. Seluruh alam ini hanya sekedar serpihan cermin, yang memang mampu memantulkan kemuliaan itu, tetapi kemuliaanNya sesungguhnya jauh lebih agung dan mempesona. Itulah yang akhirnya direnungkan dalam Injil Yoh 1:1-18

Pada awalnya adalah Firman, dan Firman itu ada bersama dengan Allah, dan Firman itu Allah. Di latar belakang renungan itu bergaung warta istimewa kelahiran Yesus Kristus dalam kemuliaan Ilahi dan kelahiranNya dalam daging, sebagai wujud pergaulan Allah dengan manusia yang mau disapa secara pribadi. Sapaan itu dimaksudkan agar manusia tidak hidup dalam kegelapan, melainkan dalam terang kasih karunia Ilahi tersebut. Terang itu telah bersinar dalam kegelapan, dan kegelapan tidak akan mengalahkannya. Semuanya lalu disinari oleh terang itu dan dibaharui, karena Ia di dalam dunia dan dunia dibaharui di dalam Dia, tetapi dunia sering tidak mengetahuiNya. 

Setiap kali kebaikan bisa ditolak, ketulusan bisa diingkari, perjuangan melawan kejahatan dan kekelaman terus menerus berjalan, tetapi orang disadarkan bahwa Firman itu sudah menjadi daging, berkemah di antara kita, kita diajak memandang kemuliaanNya sebagai cakrawala perjuangan, kemuliaan sebagaimana dimiliki oleh Anak Tunggal Bapa, yang telah dibangkitkan dari maut! Dari kepenuhanNya itulah, kita menerima, rahmat demi rahmat, karena, Taurat atau hukum diberikan oleh Musa, tetapi rahmat dan kebenaran diberikan oleh Yesus Kristus yang mulia tersebut.

Karena terang itu merupakan fragmen, maka bisa jadi bila kita masih berada dalam bayang-bayang kegelapan. Kita manusia ini, kerapkali lebih puas dengan menjadikan diri kita masing-masing berhala – katakan: allah buatan tangan manusia – karena keterbatasan, kelemahan dan kegagalan kita masing-masing. Tetapi dengan menyadari kembali misteri Natal dalam terang itu, rasanya kita memiliki sumber yang tak pernah akan kering, untuk berbagi kehidupan dengan siapa pun yang merindukan kasih Allah yang istimewa.

Hikmat bagi Kehidupan
Dari permenungan ini, kita bisa menarik hikmat apa bagi kehidupan kita bersama? 
Pertama: Perayaan Natal adalah perayaan kelahiran Yesus. Hal ini ada untuk menyadarkan agar kita semua mau “lahir kembali”, ke yang asli, yang sejati. Apakah asli kita manusia? Bukankah kita ini gambar dan rupa Allah, potret dan tanda kehadiran Ilahi dalam kehidupan? Apakah yang sudah dicerminkan dalam kehidupan kita? Pesta pora? Kasih setia dan rahmat? Ajakan untuk kembali ke fitrah, rasanya tidak jauh dengan ajakan bagi kita semua untuk bertobat, kembali ke sumber kehidupan yang tidak pernah kering, yaitu Yesus Kristus, sang Anak yang terkasih!

Kedua: Kita diajak merenungkan makna Natal, bukan hanya sebagai peringatan kelahiran Yesus dalam sejarah. Itu pasti bermakna, tetapi bukankah kelahiran itu harus ditinggalkan? Tempat kelahiran, masa kanak-kanak-kanak dan sikap kekanak-kanakan, dalam proses kehidupan ternyata ditinggalkan, dan kita diajak beralih menjadi dewasa dan menampilkan kemuliaan Ilahi sebagaimana dipercayakan kepada kita semua. Kedewasaan sebagai anak Allah, itulah yang akhirnya harus diperjuangkan, sampai akhirnya kita boleh mengambil bagian dalam kemuliaan sebagaimana dimiliki oleh sang Anak itu. Bukankah inti iman Kristiani kita pada kebangkitan yang mulia itu, dan bukan dalam ulang tahun kita?

Ketiga: Kita diajak menyongsong tahun baru 2014. Tahun bukan hanya merupakan deretan waktu atau saat, melainkan juga tantangan mutu. Bukan hanya momen menurut istilah Latin momentum, melainkan juga menurut istilah Yunani khairos, yaitu kesempatan, kemungkinan, rahmat dan perutusan. Itulah yang mestinya juga kita tanggapi dengan sikap yang terbuka. Tahun baru adalah ajakan untuk membaharui segalanya secara utuh. Semuanya itu, bukan sekedar ajakan untuk pesta pora, melainkan juga sebagai peringatan, bagaimana kita wajib menata dan mengelola kehidupan ini. Menata dan mengelola kehidupan dengan memperhitungkan rencana dan kehendak ilahi, yang menuntun kita semua ke dalam keselamatanNya. Bukan hanya untuk keselamatan diri sendiri, melainkan keselamatan dan kesejahteraan bersama, karena salus populi est suprema lex! (=keselamatan rakyat adalah hukum yang utama). Kalau pedoman kuno itu kita jadikan pedoman kita sekarang, bukannya karena kita mau kembali ke masa lalu, melainkan karena pedoman itu merupakan dasar yang harus diwujudnyatakan dalam kehidupan sekarang ini. Maka nampaknya kita perlu memperhatikan pelbagai macam tantangan zaman untuk bisa mewujudkan kerinduan manusia membangun kesejahteraan hidup – syalom – sebagaimana dikehendaki Allah. Kita yakin, bahwa natal bukan hanya kenangan masa lalu. Natal adalah tantangan dan sekaligus perutusan, sebagaimana dirumuskan oleh tradisi Yohanes. Allah saja mengutus FirmanNya untuk menjadi daging dan berkemah di antara kita, apalagi kita, ciptaanNya, mesti memantulkan kemuliaan sebagaimana ada dalam diriNya.

Tantangan Zaman sebagai Pertimbangan
Tantangan yang amat nyata dalam kehidupan masyarakat kita adalah multidimensi. Menurut alm Rm Darmawidjaya, ada tiga tantangan dasar kita, al:

Pertama: tantangan kemajemukan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, entah hal ini disadari, diyakini atau diingkari. Kemajemukan itu mempunyai makna penting, yaitu untuk mengajak kita bersaudara, membangun kerjasama. Karena kita tidak sama, maka mungkin sekali bekerja sama demi kepentingan bersama. Kemajemukan itu tidak hanya terbaca dalam suku, melainkan juga dalam budaya dan kehidupan beragama. Bagaimana kerjasama dalam semua hal itu mau dijadikan tantangan kehidupan, sehingga akhirnya kemajemukan bukan menjadi bencana, mengerdilkan sikap, melainkan memperkaya dan menyuburkan kehidupan? Salah satu hal yang bisa dikembangkan dalam kehidupan masyarakat adalah persaudaraan, hidup sebagai tetangga, sehati dan seperasaan mewujudkan kerinduan manusiawi kita yang paling mendalam: syalom!

Kedua: tantangan global. Dunia kita menjadi dunia yang amat sempit. Apa yang terjadi di bumi ini, mudah sekali dikenali dan mau tidak mau ikut menantang sikap kita. Bagaimana dalam dunia global itu kita tidak menjadi kuper, atau kurang pergaulan, tetapi sekaligus tidak kehilangan jatidiri kita yang amat pribadi? Tidak mudah anut grubyug, melainkan membangun sikap yang jelas dan tegas, demi kepentingan bersama!

Ketiga: tantangan kemiskinan. Kita diajak untuk menyadari kemiskinan, bukan hanya dalam hal materi. Kemiskinan yang paling berbahaya adalah kemiskan moral, spiritual. Kemiskinan perilaku dan budaya, menjadikan manusia ini kehilangan nilainya yang sesungguhnya. Kalau istilah “budaya” ini sebagai contoh, kehilangan satu huruf “d” saja, maka budaya berubah menjadi buaya. Dalam kehidupan bersama, perubahan atau metamorfose seperti itu mungkin sekali terjadi. Ada udang dibalik batu, ada orang dibalik pintu. Bagaimanakah kejujuran, ketulusan, pelayanan kasih, akhirnya ikut melibatkan kita semua dalam keterlibatan kita terhadap mereka yang miskin?

Akhir kata
Natal bukan hanya kenangan masa lalu, kenangan historis akan kelahiran Yesus, yang kerapkali memupuk nostalgia kita. Natal mestinya menjadi kelahiran rahmat dalam kehidupan kita semua. Dan lebih penting lagi: Natal adalah perutusan kita: kembali ke fitrah, mencerminkan kemuliaan Ilahi dalam kehidupan, membangun dunia dan kehidupan yang baru dengan kesempatan dan kemungkinan yang ada. Untuk itu sepantasnya diucapkan selamat Natal. Semoga Natal mendatangkan selamat dan kasih yang melimpah bagi semua! Pacem in terris. Pacem in cordis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar