Ads 468x60px

Intisari Homili 25 Januari 2015

Hari Minggu Biasa III B
Yun 3:1-5.10; 1Kor 7:29-31; Mrk 1:14-2

Menemukan Tuhan Dalam Segala
1:14 Sesudah Yohanes ditangkap datanglah Yesus ke Galilea memberitakan Injil Allah, 1:15 kata-Nya: "Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" 1:16 Ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat Simon dan Andreas, saudara Simon. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan. 1:17 Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." 1:18 Lalu mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. 1:19 Dan setelah Yesus meneruskan perjalanan-Nya sedikit lagi, dilihat-Nya Yakobus, anak Zebedeus, dan Yohanes, saudaranya, sedang membereskan jala di dalam perahu. 1:20 Yesus segera memanggil mereka dan mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus, di dalam perahu bersama orang-orang upahannya lalu mengikuti Dia.


Renungan :

01. Ada perbedaan tekanan antara Injil Yohanes dengan Injil-injil Sinoptik tentang makna kemuridan. Dalam Injil Yohanes menjadi murid adalah sebuah pilihan, maksudnya inisiatif menjadi murid berasal dari keinginan para murid itu sendiri, sedang dalam Injil Sinoptik inisiatif berasal dari Yesus. Dialah yang memilih dan memanggil murid-murid-Nya. Menjadi murid bagi Yohanes berarti "tinggal bersama” Yesus, sedang penginjil Sinoptik lebih menekankan aspek “mengikuti” (akoloutheo) atau “berjalan di belakang” Yesus untuk menyertai dan mengambil bagian dalam tugas perutusan-Nya yakni mewartakan Injil yakni Kerajaan Allah yang sudah mendekat, yang mesti disambut dengan sikap tobat (ay. 14). Orientasi kemuridan menurut Injil Yohanes adalah pengenalan akan pribadi Yesus secara mendalam, sedangkan dalam Injil Sinoptik panggilan sebagai murid berarti terlibat dalam tugas perutusan-Nya mewartakan datangnya Kerajaan Allah. Dengan demikian Yohanes dan penginjil Sinoptik saling melengkapi dalam menggambarkan ciri kemuridan Yesus, yaitu mengenali pribadi-Nya secara mendalam dan ikut serta dalam tugas perutusan-Nya. Menjadi murid di satu pihak merupakan pilihan, di lain pihak adalah panggilan.

02. Pemaknaan kemuridan seperti itu mempengaruhi Markus dalam menyusun injilnya. Setelah kisah panggilan para murid yang pertama, langsung diceritakan bahwa “Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kafernaum” (Mrk 1:21). Sejak dipanggil, para murid selalu mengikuti atau berjalan bersama Yesus kecuali, tentu saja, saat mereka diutus berdua-dua. Demikianlah, sejak awal Markus menampilkan Yesus yang selalu bersama-sama dengan murid-murid-Nya. Itulah sebabnya panggilan para murid diletakkan di awal karya publik-Nya.

03. Pertobatan sebagai tanggapan akan datangnya Kerajaan Allah oleh Markus secara konkret dimaknai dengan menjadi murid Yesus dan dengan segera tanpa ragu-ragu meninggalkan segala sesuatu untuk mengikuti-Nya. Markus menghilangkan kisah bahwa sebelumnya mereka pernah berjumpa dengan Yesus (lih. Yoh 1:35-51) atau kisah mukjizat penangkapan ikan sebelum Yesus memanggil Petrus sebagai murid-Nya (lih. Luk 5:1-11). Dengan menghilangkan semua detail itu, kisah panggilan para rasul tampak menjadi kisah yang ideal. Pesan kisah panggilan murid pertama itu : menjadi seorang murid yang baik itu ialah segera setelah mendengar panggilan Yesus tanpa ragu-ragu langsung mengikuti Dia dengan meninggalkan semua jaminan hidup dan masa depan (ay. 18 “jala”; ay. 20 “ayahnya”). Dengan demikian teks ini lebih berciri teologis daripada naratif historis. Sikap para rasul dalam menanggapi panggilan Yesus menjadi model bagaimana seharusnya kita menanggapi panggilan-Nya. Menjadi murid Yesus bukan kegiatan "part-time" tetapi “full-time”, tidak bisa setengah-setengah tetapi menuntut komitmen yang total dan radikal. Membiarkan seluruh hidup kita diperbaharui oleh Yesus menjadi “anggur baru”.

04. Dalam ay. 17 Yesus mengungkapkan isi panggilan para murid, “Kamu akan Kujadikan (I will make you become, poieso humas genesthai) penjala manusia”. Ungkapan itu mengandaikan bahwa menjadi murid itu merupakan suatu proses, membutuhkan sebuah pelatihan, dan tidak terjadi secara instan atau sekali jadi. Tidak! Sebagaimana menjadi seorang nelayan, sebagai penjala manusia yang handal diperlukan keahlian, menguasai tehnik-tehnik tertentu, mempunyai kekuatan fisik yang prima agar tahan menghadapi segala cuaca dan situasi, mengetahui medan, kondisi dan waktu yang tepat untuk menjala manusia. Semua itu membutuhkan proses belajar. Istilah “penjala manusia” yang dipakai Yesus di sini bukan hanya merupakan permainan kata. Dalam tradisi Perjanjian Lama sebutan penjala manusia diberikan kepada Allah dalam konteks pengadilan terakhir (Yer 16:16; Yeh 29:4-5; Am 4:2; Hab 1:14-17). Dalam konteks itu urgensi panggilan Yesus dan ketaatan para murid yang total dan radikal bisa dipahami. Tugas perutusan yang dipercayakan kepada para murid adalah tugas eskatologis, yakni mengumpulkan manusia karena pengadilan Allah akan segera terjadi. Sikap yang tepat untuk menyongsong pengadilan Allah itu adalah bertobat.

05. Dalam perikop ini dikisahkan bahwa Tuhan memanggil beberapa murid untuk menyertai-Nya dalam perjalanan berkeliling di wilayah Palestina untuk mewartakan Injil. Namun tidak semua murid diajak untuk melakukan hal itu, seperti misalnya Lazarus, Marta dan Maria, Nikodemus, Zakeus dan sebagainya. Para murid yang mengikuti Yesus kemana pun Dia pergi juga tidak lebih baik daripada murid-murid yang lain. Misalnya Yudas Iskariot yang selalu berjalan bersama Yesus ternyata imannya jauh lebih dangkal daripada Bunda Maria yang tinggal di Nazareth. Karena itu yang penting bukan Tuhan memanggilku untuk menjadi apa (entah sebagai imam, biarawan-biarawati atau membangun hidup berkeluarga) atau apa profesiku tetapi bagaimana aku menanggapi panggilan itu: Apakah aku menanggapinya seperti para murid pertama (tanpa keraguan dan dengan iman yang mendalam, kesediaan masuk dalam zona perjuangan dan ketekunan, meninggalkan semua yang kuanggap bisa menjamin hidupku)?

06. Mengikuti mode atau tokoh idola biasanya diikuti dengan menyesuaikan penampilan kita dengan penampilan sang tokoh idola, mulai dari gaya bicara, cara perpakaian, potongan rambut dan cara hidupnya. Namun hal itu hanya sementara, merupakan tempelan dari luar dan tidak masuk ke kedalaman hidup. Setiap saat bisa muncul idola baru yang menjadi trend-setter. Mengikuti Yesus berarti berani dan bersedia untuk mengubah haluan hidup sampai ke kedalaman batin, sampai balung sungsum, bersedia meninggalkan kemapanan pola pikir, cara hidup dan kebiasaan-kebiasaan lama untuk masuk dalam mind-set, gaya hidup, pola perilaku baru yang selaras dengan Injil Kerajaan Allah. Tuhan menjumpai kita tidak hanya saat kita berada di “tempat kudus” atau melakukan “tindakan yang kudus” tetapi Dia menemui dalam keseharian kita, dalam aktivitas harian kita yang biasa. Tugas kita adalah menemukan Tuhan dalam segala.

07. Seorang raja yang termashyur datang menemui guru spiritualnya dan bertanya, “Guru, engkau tahu bahwa aku adalah seorang raja yang amat sibuk. Katakan bagaimana caranya aku bisa menemukan Tuhan?”. Dengan penuh kesabaran Sang Guru menjawab, “Jawabannya hanya ada satu yaitu DIAM”. Raja itu mengejarnya dengan bertanya, “Lalu bagaimanakah caranya aku bisa diam?” “Berdoa,” jawab sang Guru. Sekali lagi raja bertanya: “Bagaimana berdoa dengan baik?” Guru menjawab: “Diam”.

Dalam dunia modern yang sibuk seperti sekarang ini, keheningan batin menjadi barang langka. Di mana-mana orang tenggelam dalam berbagai kegiatan dan berada dalam lingkungan yang penuh dengan keramaian. Rasa-rasanya setiap orang begitu sibuk dan tergesa-gesa. Saat hening atau berdiam diri malah dianggap sebagai pemborosan waktu, atau pengangguran yang tidak produktif. Kita ingin mengisi seluruh waktu dengan “pekerjaan yang produktif” atau “yang menyenangkan”. Bahkan pada saat kita mestinya tenang, misalnya saat mengikuti retret atau rekoleksi, atau berada di tempat-tempat yang “sakral” atau pun di saat merayakan Ekaristi godaan untuk mengisi waktu hening dengan hal-hal lain tetap kuat. Rasanya hampir tidak mungkin kita menemukan Tuhan dalam hidup sehari-hari tanpa menyediakan waktu untuk hening dalam doa. Kita memang percaya bahwa Tuhan selalu hadir dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun tanpa menyediakan waktu untuk hening, dalam doa merefleksikan dan merenungkan peran Tuhan dalam hidup, kita tidak akan menyadari kehadiran-Nya. Akibatnya kita tidak akan dapat menemukan Tuhan dalam hidup sehari-hari.

Dalam doa, kita membuka diri untuk kehadiran Tuhan, mengarahkan hati kepada Tuhan. Dalam doa kita menyadari bahwa segala-galanya adalah rahmat dan anugerah. Kesadaran itu menjadikan kita tidak takut menghadapi pengalaman apa pun yang tidak pernah terduga-duga. Kita siap berjumpa dengan Tuhan dalam keadaan mana pun dan kapan pun. Apa pun yang kita alami, yang harus kita hadapi adalah anugerah. Dari doa kita menimba kekuatan untuk menjalani tugas hidup sehari-hari. Karena doa kita dapat menghayati tugas itu sebagai panggilan luhur yang datang dari Tuhan sendiri. Itulah makna terdalam dari upaya menemukan Tuhan dalam segala. 

Berkah Dalem.


Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux!@RmJostKokoh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar