Ads 468x60px

Minggu 20 Desember 2015


Minggu Adven IV
Mi 5:2-5a; Mzm80:2ac-3b,15-16,18-19; Ibr 10:5-10; Luk 1:39-45

1:39 Beberapa waktu kemudian berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. 1:40 Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet. 1:41 Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus, 1:42 lalu berseru dengan suara nyaring: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. 1:43 Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? 1:44 Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. 1:45 Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana."

"Veni Veni Venite - Datang datang datanglah!" 
Inilah harapan Gereja universal bahwa Raja Damai sudi datang dan lahir kembali di "Betlehem, Rumah Roti" kita masing-masing.
Belajar dari Maria ("dikasihi Allah") yang datang dan mengunjungi Elisabeth ("dikuduskan Allah"), adapun 3 sikap dasar yang bisa kita petik dalam menyiapkan kedatangan Raja Damai, yakni: “KPK”, al:

1."Kegembiraan": 
Beberapa waktu sesudah kedatangan Malaikat Gabriel, bergegaslah Maria dari Nazareth ke pegunungan di sebuah kota Yehuda untuk berbagi kegembiraan. Visitasi/kunjungan Maria membuat Elisabeth bersukaria dan penuh dengan Roh Kudus bahkan anak yang dalam rahimnya melonjak kegirangan. Maria juga turut bergembira: "Hatiku bergembira karena Allah juruselamatku." Jelas, bahwa mereka membawa sukacita hidupnya kepada Tuhan dan bersama Tuhan.


2."Pujian": 
Elisabeth yang jauh lebih tua tak sungkan memuji dan membagi berkatnya kepada Maria: "Diberkatilah engkau di antara semua wanita, dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sungguh, berbahagialah dia yang telah percaya, sebab firman Tuhan yang dikatakan kepadanya akan terlaksana." Indahnya, Maria juga tak sombong dan lupa diri, ia tetap rendah hati dan ingat sepenuh hati untuk memuji Tuhan Sang sumber cinta sejati. Ia ber-magnificat: "Jiwaku memuji/mengagungkan Tuhan."
Dengan kata lain: Mereka mengajak kita untuk belajar menjadi berkat yang baik dan tidak penuh intrik, yang tulus dan tidak penuh akal bulus, yang terbiasa memuji dan tidak mencaci, yang saling menguatkan dan tidak saling mempergunjingkan.

3."Kedamaian": 
Ketika sampai di rumah Zakaria, Maria pertama-tama memberi salam (Ibr: Syalom: Damai). Maria menjadi "Regina Pacis-Ratu Damai" karena kehadirannya selalu membawa kedamaian yang sederhana.


Nah, jelasnya kalau ada orang meninggal, kita biasa mengatakan "Rest in Peace", maka hari ini Maria dan Elisabeth mengajak kita untuk "Race In Peace", bukan melulu beristirahat tetapi mari terus "berpacu dalam damai", yah dengan karya, ucapan dan doa kita yang sejati dan tidak basa basi. "Pacem in terris-Pacem in cordis. Damai di bumi dan di hati".
"Makan siomai di Tangerang - Jadilah pembawa damai bagi setiap orang."

Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux!@RmJostKokoh
Pin HIK: 7EDF44CE/54E255C0.




NB:

1. Perjumpaan Yang Meneguhkan

01. Dalam tradisi diyakini bahwa Zakharia dan Elisabeth tinggal di kota Ain Karim, sebuah kota di pegunungan Yudea yang terletak sekitar 7 Km di sebelah barat Yerusalem. Berjarak sekitar 150 Km dari Nazareth atau tiga sampai empat hari perjalanan dengan jalan kaki melalui jalan yang berbukit-bukit. Sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan bagi seorang gadis. Tetapi Maria menjalaninya dengan penuh semangat (ay. 39: bergegas). Ungkapan antusiasme yang kuat untuk menyaksikan karya agung Allah dalam diri Elisabeth, saudaranya. Maria tidak meragukan sedikitpun kebenaran Sabda Allah. Sabda Allah pasti akan terlaksana. Maria pun ingin segera menceritakan kabar yang membuatnya bahagia bahwa sekaranglah saat keselamatan yang dinantikan oleh seluruh dunia itu. Maria ingin segera membawa Kristus kepada semua orang. Maria tinggal di rumah Elisabeth selama 3 bulan (ay. 56), artinya sampai Elisabeth melahirkan karena dalam Luk 1:36 diberitahukan bahwa “inilah bulan yang keenam bagi dia”.



02. Dalam perikop sebelumnya, Gabriel, Malaikat Allah, menyatakan kepada Maria bahwa “kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau (overshadow you, episkiasei soi)” (Luk 1:35). Kata kerja “menaungi” itu sama seperti yang dipakai dalam Kel 40:35 ketika menceritakan turunnya kemuliaan Allah berupa awan yang memenuhi Kemah Pertemuan di mana Tabut Perjanjian diletakkan. Pemakaian kata yang sama itu mengisyaratkan adanya kaitan yang erat antara Maria dengan Tabut Perjanjian. Kisah kunjungan Maria ke rumah Elisabeth yang diwartakan dalam Injil hari ini diceritakan dengan gaya penuturan yang mirip dengan kisah prosesi pemindahan Tabut Perjanjian ke Yerusalem yang dilakukan oleh Raja Daud dalam 2 Sam 6.


Dalam kedua kisah itu diceritakan bahwa perjalanan terjadi di wilayah Yehuda (ay. 39; 2 Sam 6:2) menuju Yerusalem, kota di atas pegunungan (ay. 39; 2 Sam 6:12.16). Maria digambarkan “masuk ke rumah Zakharia” (ay. 40), sedang Tabut Perjanjian “masuk ke rumah Obed-Edom” (2 Sam 6:10). Kehadiran Maria menjadi sumber berkat bagi Elisabeth dan anak yang ada dalam kandungannya (ay. 41.44), kehadiran Tabut Perjanjian menjadi sumber berkat bagi Obed-Edom dan seisi rumahnya (2 Sam 6:11-12). Seruan Elisabeth dengan suara nyaring (ay. 42) sejajar dengan seruan seluruh umat Israel (2 Sam 6: 15). Pertanyaan Elisabeth, “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (ay. 43) paralel dengan pertanyaan Daud, "Bagaimana tabut TUHAN itu dapat sampai kepadaku?" (2 Sam 6:9). Yohanes Pembabtis melonjak kegirangan (ay. 44) setelah mendengar salam Maria, sedangkan Daud dengan penuh kegembiraan meloncat-loncat, menari-nari sekuat tenaga (2 Sam 6:5.14.16). Dan akhirnya diceritakan bahwa Maria tinggal di rumah Elisabeth kira-kira tiga bulan lamanya (ay. 56), demikian juga Tabut Perjanjian tinggal di rumah Obed-Edom selama tiga bulan (2 Sam 6:11).

Paralelisme yang menonjol itu bukan tanpa disengaja oleh Lukas. Lukas mau menegaskan bahwa Maria adalah Tabut Perjanjian Allah yang sejati, yang membawa Yesus, Sabda Allah, di dalam rahimnya dalam peziarahan menuju ke Yerusalem. Dalam Luk 2 fokus cerita adalah perjalanan kanak-kanak Yesus naik ke Yerusalem (lih. ay. 4.22 dan 42). Kisah masa kanak-kanak dalam Injil Lukas merupakan ringkasan keseluruhan Injil yang juga mengisahkan perjalanan Yesus naik ke Yerusalem. Bagi Lukas, Yerusalem bukan hanya menunjuk tempat geografis tetapi lebih-lebih punya makna teologis yang kuat dan mendalam. Di Yerusalemlah puncak karya penyelamatan yakni sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus terlaksana.



03. Berkat bantuan Roh Kudus yang turun ke atasnya, Elisabeth dapat memaknai gerak bayi yang ada dalam rahimnya sebagai lonjakan kegembiraan menyambut kedatangan Tuhan Sang Penyelamat yang ada dalam rahim Maria (ay. 44). Gerak bayi yang masih ada dalam rahim ibunya itu sekaligus merupakan isyarat akan tugas kehidupan yang akan dijalani oleh bayi itu di masa depannya.


Perjumpaan dua ibu itu sesungguhnya merupakan perjumpaan dua bayi yang akan menjadi penentu sejarah keselamatan. Yohanes Pembabtis akan menjadi nabi besar yang penuh Roh Kudus sejak ada dalam rahim ibunya (lih. Luk 1:15). Dia telah melaksanakan tugasnya sebagai penunjuk jalan bagi kedatangan Mesias sejak masih dalam rahim ibunya, melalui mulut ibunya. Kisah panggilannya sebagai nabi mirip dengan kisah panggilan para nabi dalam Perjanjian Lama yakni bahwa panggilan itu telah diawali sejak dalam kandungan ibu, "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa." (Yer 1:5).

04. 
Dalam ay. 43 Elisabeth menyebut Maria sebagai “Ibu Tuhanku” (the mother of my Lord). Dalam konteks kerajaan-kerajaan di Timur Tengah kuno, sebutan “Bunda Tuanku” merupakan sebutan kehormatan untuk ibu suri, ibunda raja. Begitu besarnya pengaruh ibu suri terhadap raja sehingga ibu suri sering di sebut sebagai orang kedua sesudah raja. Gelar “Ibu Tuhan” untuk Maria menunjukkan bahwa sudah sejak tahun 70 an, saat Injil Lukas ditulis, Bunda Maria mendapat penghormatan yang besar dalam Gereja. Maria diakui sebagai seorang pribadi yang sangat dekat dengan Yesus, Putranya. Bahkan kemudian dalam refleksi teologis tentang Maria (Mariologi), Maria diberi gelar “corredemptrix”(bersama menebus, rekan penebus).


Dengan menjadi Bunda Sang Penebus, secara tidak langsung Bunda Maria ikut serta dalam pelaksanaan karya penebusan. Dengan gelar itu yang mau ditekankan adalah bahwa peran Maria dalam kelahiran Sang Penebus bukan sekedar sebagai sarana biologis yang pasif tetapi secara personal dan aktif, dalam kebebasan kehendaknya Maria sepenuhnya rela dipilih dan rela melaksanakan tugasnya sebagai ibu Sang Penebus dengan segala konsekuensinya.

05. Dalam ay. 45 Maria ditampilkan sebagai model untuk semua orang beriman, untuk Gereja. Karena itu ungkapan yang dipakai bukan “Berbahagialah engkau (hanya untuk Maria secara eksklusif)” tetapi “Berbahagialah dia (untuk Maria dan juga setiap murid Yesus sepanjang zaman)” yang percaya pada Sabda Allah dan percaya bahwa Sabda Allah itu pasti akan terlaksana. Ungkapan ini menggemakan pujian Yesus untuk Bunda-Nya, "Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya." (Luk 11:28). Sejarah keselamatan Israel berawal dari tindakan iman, yaitu iman Abraham (Kej 12:1-5), sejarah keselamatan dunia juga berawal dari tindakan iman, yaitu iman Maria. Maria percaya meskipun perawan, dia akan mengandung dan melahirkan Sang Mesias.



06. Yohanes Pembabtis dipanggil sebagai nabi Allah sejak masih berada dalam kandungan ibunya. Lonjakan penuh kegembiraan dalam rahim Elisabeth merupakan pelaksanaan pertama dari tugas perutusannya untuk mewartakan kedatangan Sang Mesias. Kepada kita pun, bahkan sebelum kita dilahirkan, Tuhan telah merancang tugas khusus yang unik dan tak bisa digantikan oleh orang lain. Tugas kehidupan dari Sang Pencipta itu tertanam dalam potensi diri atau talenta yang merupakan bentuk kepercayaan dari-Nya agar diperkembangkan untuk kebaikan diri dan sesama. Pengenalan akan potensi diri sejak dini diperlukan agar dapat menentukan tujuan hidup.


Caranya?
Pertama, terbuka dan bersedia menerima masukan dari orang lain terutama dari orang-orang yang dekat karena ada bagian dimana ‘aku tidak tahu, tetapi orang lain tahu’.
Kedua, memperluas wawasan. Semakin banyak bersosialisasi, semakin banyak feedback yang kita dapatkan. Secara tidak langsung mereka dapat menjadi cermin bagi kita. Maria semakin yakin akan tugas perutusannya sebagai ibu Tuhan setelah diteguhkan oleh Elisabeth.

Ketiga, menemukan gairah hidup yang menumbuhkan semangat. Do what you love, and love what you do! Keempat, selalu mengatakan YA untuk setiap kesempatan melakukan hal yang baik. Lebih baik melakukan hal yang baik tetapi gagal daripada tidak pernah berani mengambil kesempatan untuk melakukannya. Semua hal besar di hari esok dimulai dari langkah-langkah kecil yang kita lakukan hari ini. Yang harus kita lakukan adalah membiarkan diri dipimpin oleh Roh Kudus agar dapat menemukan tugas kehidupan yang dipercayakan dan hari demi hari dapat menjalankan tugas perutusan itu dengan tekun dan setia.



07. Sekelompok peziarah itu diberi waktu tiga pulluh menit untuk menyaksikan matahari yang akan terbit di puncak gunung Bromo. Begitu fajar tiba, mereka sibuk berfoto ria dan selfie. Mereka ingin mengabadikan kesempatan yang langka itu. Akibatnya, mereka tidak sempat menikmati indahnya momentum saat itu: ketika sinar matahari perlahan-lahan terbit di ufuk timur menerangi gunung dan lembah, saat langit berubah menjadi jingga, merdunya burung-brung berkicau di kejauhan memecah kesunyian pagi, dan hangatnya matahari pagi yang menerpa wajah. Mereka pulang dengan membawa sejumlah koleksi foto, tetapi kehilangan kesempatan untuk menikmati momentum terindah di tempat itu karena sebenarnya mereka tidak hadir secara utuh dan penuh! Padahal sebuah kehadiran jauh lebih bermakna daripada sejuta foto.


Dalam kehidupan bersama di desa kita ada tradisi saling mengunjungi tetangga atau kerabat yang sedang mengalami keprihatinan entah sakit, mengalami musibah atau kematian salah satu anggota keluarga. Kunjungan dan kehadiran itu mempunyai makna positif dan mampu menghadirkan energi positif, entah itu rasa senang, terhibur atau dikuatkan. Sebuah kehadiran akan menguatkan bila tidak hanya sekadar “setor muka”, tapi kehadiran yang utuh dan sepenuh hati. Entah disadari atau tidak, setiap orang yang kita jumpai itu "menantang" keterlibatan dan tanggung jawab kita terhadap mereka. Baik dalam suka maupun duka kita butuh kehadiran orang lain. Kebahagiaan dirasakan lebih utuh hanya bila dapat melibatkan orang-orang terkasih. Sebaliknya, kepahitan hidup hanya dapat ditanggung berkat dukungan sahabat-sahabat. Di balik setiap wajah ada sebuah kisah kehidupan yang membutuhkan uluran hati dan kehadiran kita untuk saling menguatkan dan menghangatkan.

Berkah Dalem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar