Ads 468x60px

Selasa, 07 Februari 2017

Pekan Biasa IV
Kej. 1:20-2:4a; Mzm. 8:4-5,6-7,8-9; Mrk. 7:1-13

“Bonum et malum – Kebaikan dan kejahatan”.
Hati yang tulus melahirkan kebaikan, tapi hati yang penuh akal bulus melahirkan kejahatan. Bukankah dunia kita marak oleh ”kejahatan” ketika hukum semarak dipermainkan dan ketulusan berarak dipinggirkan?

Jelasnya, kita mengalami apa yang disebut Vaclav Havel, ”the aesthetics of banality” (pendangkalan makna), ketika kita juga hidup dan beriman dalam suatu kesadaran palsu karena iman kita terpisah dari hidup harian dan nurani.

Dalam bacaan hari ini, banyak orang Yahudi menjadi orang ”legalistis”, yang hatinya penuh basa-basi, yang cuma sibuk perihal luaran seputar hukum ”najis/halal”.

Sebaliknya, Yesus menjadi orang “realistis”, yang hatinya asli bersaksi, yang berani menyingkap makna terdalam dari sebuah hukum.

BagiNya: yang menajiskan bukan makanan yang masuk ke dalam tubuh/tangan yang digunakan u/memasukkannya; tapi rasa - prasangka/niat buruk yang keluar dari hati – pikiran dan mulut kita (bdk.Mat 15:11-20).

Disinilah, Yesus ajak kita untuk selalu menjadi orang yang “ERI": "Evaluatif - Reflektif - Instrospektif”, sehingga bisa memelihara “kebaikan/bonum”dan menanggalkan “kejahatan/malum” secara mendalam - bukan hanya permukaan; secara total - bukan hanya dangkal/banal/menurut ukuran ritual belaka.

Bukankah sikap hati yang selalu "evaluatif – reflektif dan instrospektif" akan selalu melahirkan kebaikan dan ketulusan hidup yang nyata dalam berpikir –berkata dan bertindak?

Ya, Yesus ajak kita menjadi orang yang “munajat” (mendekat sepenuh hati padaNya) bukan “munafik” (mendekat penuh basa-basi padaNya), yang seperti kuburan: yang luarnya putih tapi dalamnya busuk, penuh tulang belulang.

Munafik sendiri (منافق,) adalah terminologi untuk merujuk pada mereka yang suka berpura-pura mengikuti ajaranNya tapi sebenarnya tidak mengakui dan tidak melakukan dalam kenyataan hidupnya.

Dalam buku saya, “TANDA” (RJK, Kanisius), adapun 3 indikasi orang yang munafik, al:
MU-lutnya pedas, 
NA-lurinya iri hati, 
FIK-irannya negatif”.
Bagaimana dengan isi hati dan hidup kita sendiri?
“Taufik masuk Kopassus - Sikap munafik dibenci Yesus.”
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)


NB:

1.“Philosophia - Pecinta kebijaksanaan.”
Inilah yang diwartakan Yesus ketika menegur sikap orang Yahudi, yang menyamakan ajaran tradisi manusia dengan ajaran Tuhan; dan dengan demikian malahan tidak menangkap esensi/prinsip dasar ajaran Tuhan yang penuh kasih.

Adapun ‘tradisi’ yang dibicarakan di sini bukanlah tradisi suci para rasul, yang justru bersumber dari ajaran Yesus dan Gereja Perdana, melainkan tradisi manusia yang berasal dari ajaran adat istiadat nenek moyang bangsa Yahudi (tradisi rabinis) yang mengambil kebiasaan kuno pada zaman itu.

Jelasnya, orang Farisi dan para ahli Taurat menjadi tidak bijaksana karena bermental tradisionalis dan legalis (Mat 5:27-28; 6:1-7; Yoh 1:13; 3:3-6; Mat 5:20; Yes 1:11; Am 4:4-5).
Tercandra, bahwa orang legalis seperti itu kerap memuliakan Allah dengan bibir, sedangkan hati mereka jauh dari Allah; dari luar mereka tampaknya benar, tetapi hatinya sama sekali tidak mengasihi Allah.

Ya, Yesus jelas mengecam ketidaktulusan dan kemunafikan kaum Farisi seperti ini. Perkataan dalam kitab nabi Yesaya (Yes 19:13), yang mengecam ketidaktulusan orang-orang sejamannya di dalam menyembah Tuhan, menjadi relevan untuk dihubungkan dengan sikap kaum Farisi yang menentang Yesus ini.

Dalam semangat mereka untuk mempertahankan tradisi-tradisi yang berasal dari pendangan- pandangan para guru/rabbi mereka di zaman dahulu, mereka malah mengabaikan kewajiban-kewajiban yang lebih mendasar dari hukum Tuhan.
Bagaimana dengan kita?

"Dari Cisantana ke Pasar Koja -Jadilah bijaksana dan bersahaja."


2.Tuesday, 7 February 
"Rejecting the commandments of God"

Scripture: 
Mark 7:1-13
Now when the Pharisees gathered together to him, with some of the scribes, who had come from Jerusalem, they saw that some of his disciples ate with hands defiled, that is, unwashed. (For the Pharisees, and all the Jews, do not eat unless they wash their hands, observing the tradition of the elders; and when they come from the market place, they do not eat unless they purify themselves; and there are many other traditions which they observe, the washing of cups and pots and vessels of bronze.) And the Pharisees and the scribes asked him, "Why do your disciples not live according to the tradition of the elders, but eat with hands defiled?"

And he said to them, "Well did Isaiah prophesy of you hypocrites, as it is written, `This people honors me with their lips, but their heart is far from me; in vain do they worship me, teaching as doctrines the precepts of men.' You leave the commandment of God, and hold fast the tradition of men." And he said to them, "You have a fine way of rejecting the commandment of God, in order to keep your tradition! For Moses said, `Honor your father and your mother'; and, `He who speaks evil of father or mother, let him surely die'; but you say, `If a man tells his father or his mother, What you would have gained from me is Corban' (that is, given to God) - then you no longer permit him to do anything for his father or mother, thus making void the word of God through your tradition which you hand on. And many such things you do."

Meditation:
What makes a person unclean or unfit to offer God acceptable worship? The Jews went to great pains to ensure that their worship would conform to the instructions which God gave to Moses on Mount Sinai. God's call to his people was a call to holiness: "be holy, for I am holy" (Leviticus 11:44; 19:2). In their zeal for holiness many elders developed elaborate traditions which became a burden for the people to carry out in their everyday lives. The Scribes and Pharisees were upset with Jesus because he allowed his disciples to break with their ritual traditions by eating with unclean hands. They sent a delegation all the way from Jerusalem to Galilee to bring their accusation in a face-to-face confrontation with Jesus.

Jesus dealt with their accusation by going to the heart of the matter - by looking at God's intention and purpose for the commandments. Jesus gave an example of how their use of ritual tradition excused them from fulfilling the commandment to honor one's father and mother. If someone wanted to avoid the duty of financially providing for their parents in old age or sickness they could say that their money or goods were an offering "given over to God" and thus exempt from any claim of charity or duty to help others. They broke God's law to fulfill a law of their own making. Jesus explained that they void God's command because they allowed their hearts and minds to be clouded by their own notions of religion.
Jesus accused them specifically of two things. First of hypocrisy. Like actors, who put on a show, they appear to obey God's word in their external practices while they inwardly harbor evil desires and intentions. Secondly, he accused them of abandoning God's word by substituting their own arguments and ingenious interpretations for what God requires. They listened to clever arguments rather than to God's word. Jesus refers them to the prophecy of Isaiah (29:31) where the prophet accuses the people of his day for honoring God with their lips while their hearts went astray because of disobedience to God's laws.

If we listen to God's word with faith and reverence, it will both enlighten our mind and purify our heart - thus enabling us to better understand how he wants us to love and obey him. The Lord invites us to draw near to him and to feast at his banquet table. Do you approach with a clean heart and mind? Ask the Lord to cleanse and renew you with the purifying fire of his Holy Spirit.

"Lord Jesus, let the fire of your Holy Spirit cleanse my mind and my heart that I may love you purely and serve you worthily."

Psalm:
Psalm 84:1-5, 9-10
How lovely is your dwelling place, O LORD of 
hosts! 
My soul longs, yes, faints for the courts of the 
LORD; my heart and flesh sing for joy to the 
living God. 
Even the sparrow finds a home, and the swallow 
a nest for herself, where she may lay her 
young, at your altars, O LORD of hosts, my 
King and my God. 
Blessed are those who dwell in your house, ever 
singing your praise! Selah 
Blessed are the men whose strength is in you, in 
whose heart are the highways to Zion.
Behold our shield, O God; look upon the face of 
your anointed! 
For a day in your courts is better than a thousand 
elsewhere. I would rather be a doorkeeper in 
the house of my God than dwell in the tents of 
wickedness.

Daily Quote from the Early Church Fathers:
"Christ says, 'Care for the poor' (Matthew 19:21; Mark 10:21; Luke 14:13); Mammon says, 'Take away even those things the poor possess.' Christ says, 'Empty yourself of what you have' (Matthew 16:24; Mark 8:34; Luke 9:23); Mammon says, 'Take also what they possess.' Do you see the opposition, the strife between them? See how it is that one cannot obey both, but must reject one?... Christ says, 'None of you can become my disciple if you do not give up all your possessions' (Luke 14:33); Mammon says, 'Take the bread from the hungry.' Christ says, 'Cover the naked' (Matthew 25:34-40; Isaiah 58:7); the other says, 'Strip the naked.' Christ says, 'You shall not turn away from your own family (Isaiah 58:7), and those of your own house' (1 Timothy 5:8; Galatians 6:10); Mammon says, 'You shall not show mercy to those of your own family. Though you see your mother or your father in want, despise them' 

(John of Chrysostom, 347-407 A.D., excerpt from Homilies on Philippians 6.25)


3.
IN MEMORIAM:
Pramoedya Ananta Toer

“Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis,
ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
(Pramoedya Ananta Toer)

Pengantar
Bila membuka laman mesin pencari Google hari ini, Senin (6/2/2017), Anda akan menemukan ilustrasi seorang pria berambut putih, berkacamata, dan berkaus. Pria itu digambarkan sedang mengetik di mesin tik manual.

Pria itu adalah Pramoedya Ananta Toer yang dilahirkan pada hari ini pada tahun 1925 silam. Ya, Google Doodle hari ini membuat sebuah perayaan ulang tahun ke-92 baginya. Meski, sastrawan ini telah tutup usia akibat komplikasi diabetes serta penyakit jantung pada 31 April 2006 lalu.

Semasa hidupnya, Pram, demikian dia disapa, menulis berbagai novel, cerita, jurnal, dan kronik sejarah. Dia kerap mengkritik pemerintah melalui karya-karyanya, sehingga kerap bersinggungan dengan penguasa di masanya.

Pemerintah Belanda, di masa masih menjajah Indonesia, pernah memenjarakan Pram. Rezim Soekarno pun tak akur dengan Pramoedya Ananta Toer. Begitu pula rezim Soeharto yang menyensor berbagai tulisannya, menudingnya sebagai komunis, hingga memenjarakannya di Pulau Buru selama 30 tahun.

Di antara banyak karya tulis Pramoedya, satu yang paling terkenal, bahkan hingga ke mancanegara, adalah Tetralogi Buru.

Tetralogi Buru sendiri merupakan novel yang terdiri dari empat judul, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Ceritanya berkutat pada kehidupan Minke, nama lain dari Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, yang dianggap sebagai tokoh pers dan kebangkitan nasional Indonesia.

Proses penulisannya menyisakan sebuah cerita yang menarik. Pasalnya, Pram menulis Tetralogi Buru semasa dia ditahan dan diasingkan di Pulau Buru, Maluku. Bahkan, kala itu Pram sama sekali tidak diberi akses untuk mendapatkan pena, kertas atau alat tulis lain.

Semasa pembatasan akses tersebut, Pram menceritakan garis besar naskah Tetralogi Buru secara lisan pada kawan-kawannya sesama tahanan. Detil-detil Tetralogi Buru baru ditulis oleh Pram saat dia diperbolehkan menulis di tahanan dan mendapatkan akses alat tulis. Saa itu, Pramoedya merupakan satu-satunya tahanan yang mendapat pinjaman mesin tulis.

Pada 1979, Pramoedya Ananta Toer dibebaskan dari tahanan dan dinyatakan tidak bersalah serta tidak terlibat Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Meski bebas, naskah Tetralogi Buru tidak dengan mudah ikut bebas keluar dari Pulau Buru. Pasalnya setiap tahanan yang dipulangkan selalu mengalami penggeledahan.

Naskah tersebut berhasil sampai ke Jakarta dengan selamat atas bantuan kawan-kawan Pram di tahanan. Mereka membantu menyelundupkan dan menyembunyikan naskah tersebut agar terhindar dari penggeledahan tersebut.

Hingga saat ini, empat judul dari Tetralogi Buru itu seluruhnya masih beredar dan bisa dibaca. Begitu juga beberapa karya lainnya, seperti Arok Dedes, Mangir, Bukan Pasar Malam, dan Gadis Pantai.

Profil: Selayang Pandang
Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

Pramoedya yanng dilahirkan di Blora pada tahun 1925 di jantung Pulau Jawa adalah anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya seorang penjual nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pasca 17 Agustus 1945
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara Pramoedya dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Penahanan dan Setelahnya
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan (13 Oktober1965 – Juli 1969, Juli 1969 – 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 – 12 November 1979 di Pulau Buru, November – 21 Desember 1979 di Magelang). Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat Gerakan 30 September, tetapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir

Kontroversi
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya pada tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.

Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan – apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.

Masa tua
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.

Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Berpulang
Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Saint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.

Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.

Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.

Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.

Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.

Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sudjatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.

Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

NB:
PRAMOEDYA Ananta Toer merupakan seorang penulis Indonesia satu-satunya yang pernah diusulkan untuk mendapat Nobel Sastra.

Novel-novel Tetralogi Buru yang ditulisnya di Pulau buru, mengantarkannya masuk nominasi tersebut. Tetralogi Buru terdiri dari empat buah novel yaitu Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).
Pram, sapaan akrab Pramoedya, menerbitkan 4 novel tersebut secara bertahap pada 1980-1988.

Namun penerbitan tidak berjalan mulus karena larangan dari Kejaksaan Agung karena novel itu dianggap mengandung pesan Marxisme-Leninisme. Sebelum diterbitkan, cerita tersebut terlebih dahulu disingkapkan secara lisan pada rekan-rekannya selama berada di tahanan saat diasingkan di Pulau Buru pada 1965-1979.

Dengan alat yang terbatas ia mulai menceritakan jilid pertamanya yaitu Bumi Manusia kepada para tahanan. Dan 2 tahun kemudian baru ia dapat melanjutkan menulis ketika beberapa tahanan memberikan mesin tik tua kepadanya.

Dalam berkarya, Pram sendiri menaruh harapan untuk Nobel. Pram sempat bergurau pada adiknya, Koesalah Soebagyo Toermengenai bahwa ia akan mendapatkan Nobel di tahun 2004. Kejadian tersebut diceritakaan Koesalah dalam buku Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer.

Tahun berikutnya, 2005 Pram juga disebut-sebut kembali masuk kandidat penerima Nobel Sastra. Namun ternyata penghargaan tersebut gagal lagi didgenggamnya. Sejumlah isu pun muncul menanggapi kegagalan Pram. Diantaranya adalah penerjemahan karya Pram ke bahasa Inggris yang buruk. Sehingga kesustraannya berkurang.

Meski demikian, karya Pram abadi sampai saat ini. Buku-buku kini dibanderol ratusan ribu rupiah per eksemplar di tangan pedagang buku bekas.

Tetralogi Buru bahkan memiliki nama internasional, The Buru Quartet. Penerjemah buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa merupakan pegawai Kedubes Australia di Jakarta. Ia dikembalikan ke negara asalnya karena sudah menerjemahkan kedua buku karya Pram.

Adapun sepanjang hidupnya, Pram telah membuat lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam 41 bahasa asing.

PENDIDIKAN
SD Institut Boedi Oetomo (IBO), Blora
Radio Vakschool 3 selama 6 bulan, Surabaya
Kelas Stenografi, Chuo Sangi-In, satu tahun, Jakarta
Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi oleh Drs. Mohammad Hatta, Maruto Nitimihardjo
Taman Dewasa: Sekolah ini ditutup oleh Jepang, 1942-1943
Sekolah Tinggi Islam: Kelas Filosofi dan Sosiologi, Jakarta

KARIR
Juru ketik di Kantor Berita Domei, Jakarta, 1942-1944
Instruktur kelas stenografi di Domei
Editor Japanese-Chinese War Chronicle di Domei
Reporter dan Editor untuk Majalah Sadar, Jakarta, 1947
Editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka, Jakarta, 1951-1952
Editor rubrik budaya di Surat Kabar Lentera, Bintang Timur, Jakarta, 1962-1965
Fakultas Sastra Universitas Res Publica (sekarang Trisakti), Jakarta, 1962-1965
Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, 1964-1965

PENGHARGAAN
Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996
Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
The Norwegian Authors Union, 2004
Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004

Bibliografi
• Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947[1]
• Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
• Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949 (dicekal oleh pemerintah karena muatan komunisme)
• Keluarga Gerilya (1950)
• Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
• Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
• Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
• Bukan Pasar Malam (1951)
• Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
• Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
• Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
• Gulat di Jakarta (1953)
• Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
• Korupsi (1954)
• Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
• Cerita Dari Jakarta (1957)
• Cerita Calon Arang (1957)
• Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
• Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; bagian III dan IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung; jilid kedua dan ketiga dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
• Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
• Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
• Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
• Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
• Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
• Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
• Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
• Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
• Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
• Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
• Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
• Arus Balik (1995)
• Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
• Arok Dedes (1999)
• Mangir (2000)
• Larasati (2000)
• Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)

Pramoedya dalam Budaya Pop:
• Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja, oleh Bahrum Rangkuti (Penerbit Gunung Agung)
• Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer, oleh A. Teeuw (Pustaka Jaya)
• Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, oleh Eka Kurniawan (Gramedia Pustaka Utama)
• Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, oleh Apsanti Djokosujatno (Tera Indonesia)
• Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra, Daniel Mahendra, dkk (Penerbit Malka)
• Pramoedya Ananta Toer, Luruh Dalam Ideologi, oleh Savitri Scherer (Komunitas Bambu, 2012)
• Pram dari Dalam, Soesilo Toer (Penerbit Gigih Pustaka Mandiri dan Perpustakaan Pataba Blora), 2013.suara.com.hk

Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!

(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar