Ads 468x60px

ANTOLOGI RENUNGAN PEKAN SUCI


@ ANTOLOGI RENUNGAN PEKAN SUCI

1.JUMAT AGUNG
Via crucis – Via dolorosa
Jalan salib – Jalan dukacita
“SALIB” – “Saat Aku Lemah Ingatlah Bapa.”
Kami menyembah Dikau , ya Kristus, dan bersyukur kepadamu..
INFORMASI
Sejak abad pertama, umat Kristiani telah mengadakan ziarah ke tanah kelahiran Yesus. Santa Helena, ibunda Raja Konstantinus, melakukan ziarahnya yang terkenal itu pada abad ke-4 dalam usahanya untuk mengenali dari dekat tempat Yesus dilahirkan, wafat dan dimakamkan.
Untuk jangka waktu yang pendek, yaitu setelah tahun 1199 ketika tentara-tentara Perang Salib berhasil menguasai Yerusalem dan wilayah sekitarnya, ziarah dapat dilakukan tanpa kesulitan. Tetapi sejak tahun 1291 setelah mereka kehilangan kekuasaan mereka atas daerah tersebut, ziarah menjadi lebih berbahaya dan mahal.

Maka, ibadat Jalan Salib bertujuan untuk menghadirkan Tanah Suci baik bagi mereka yang tidak dapat berziarah ke sana maupun bagi mereka yang sudah berziarah ke sana.
Menurut P.Pat McCloskey, OFM, seorang kudus, Fransiskus dari Asisi mempunyai dua devosi yang amat mendalam yaitu Inkarnasi Yesus dan Sengsara Yesus, masing-masing dilambangkan dengan buaian dan salib. Para biarawan Fransiskan mempopulerkan devosi Jalan Salib sejak abad ke-14. Mereka membuat perhentian-perhentian kecil di dalam gereja, kadang-kadang dibangun juga perhentian-perhentian yang besarnya seukuran manusia di luar gereja. Segera saja, hampir semua gereja telah memiliki pelbagai stasi/perhentian Jalan Salib. Para biarawan Fransiskan juga menuliskan lirik Stabat Mater, yang biasanya dinyanyikan saat Ibadat Jalan Salib, baik dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Latin, maupun dalam bahasa setempat. Jumlah perhentian serta peristiwa-peristiwa Jalan Salib yang dikenangkan bervariasi dari waktu ke waktu. Ke-14 peristiwa Jalan Salib yang sekarang ditetapkan oleh Paus Clement XII (1730-1740).
Baik kita melakukan Ibadat Jalan Salib seorang diri atau bersama-sama dengan umat lain, di dalam gereja atau pun di ke-14 perhentian di luar gereja, ibadat ini menjadikan kisah sengsara dan wafat Yesus terasa nyata dan hidup.
INSPIRASI
Salib adalah dua batang kayu bersilang yang dipakai untuk menghukum seorang terpidana mati. Pada jaman Yesus, mati disalib merupakan hukuman paling berat dan dianggap hina. Si terpidana harus menanggung penderitaan ganda. Pertama, ia mengalami kesakitan fisik luar biasa sampai ajalnya tiba. Kedua, sementara menunggu maut menjemput, ia dicemooh orang banyak. Dengan demikian ian tersiksa juga secara mental. Salib berarti penderitaan lahir-batin.
Alkitab memberikan beberapa pandangan mengenai faktor-faktor penyebab penderitaan manusia :
a. Penderitaan karena iblis (setan) :
Iblis/setan seringkali dianggap sebagai penyebab utama munculnya penderitaan. Anggapan ini muncul dari peristiwa jatuhnya manusia dalam dosa, yang menyebabkan manusia harus mengalami penderitaan dalam hidupnya (Kejadian 3 : 14 – 19). Manusia jatuh ke dalam dosa karena peran iblis/setan yang telah menggoda manusia untuk memakan buah pohon pengetahuan yang telah dilarang oleh Allah sebelumnya.
b. Penderitaan karena perbuatan diri sendiri :
Menyalahkan iblis sebagai biang keladi atas jatuhnya manusia ke dalam dosa memang bukanlah sikap yang bijaksana. Sebab jika kita memperhatikan dengan seksama peristiwa jatuhnya manusia ke dalam dosa, maka kita dapat melihat bahwa peran manusia pun cukup besar.
Ketika manusia diciptakan Allah, Allah telah memberikan perintah sebagai ketetapan yang tidak boleh dilanggar. Adanya perintah itu berarti, bahwa manusia sudah tahu apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Perintah Allah itu merupakan rambu-rambu bagi manusia untuk tetap memberlakukan hidupnya sesuai hakikatnya, yakni segambar dan serupa dengan Allah. Allah memberikan kemuliaan dan hormat kepada manusia untuk dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, manusia mempunyai tanggung-jawab terhadap dirinya sendiri. Namun tanggung-jawab itu diabaikan oleh keinginan untuk menjadi sama seperti Allah, yakni memiliki kekuasaan yang absolut seperti yang dikatakan oleh ular. Akibatnya, manusia terjebak oleh keinginannya sendiri dan ia kalah oleh godaan yang ada dalam dirinya. Manusia kalah oleh dirinya sendiri untuk hidup sesuai hakikat yang diberikan kepadanya.
c. Penderitaan dari perbuatan dan tingkah laku sesama.
Dalam realita, kita merasakan dalam kehidupan sehari-hari, bahwa tidak semua orang bersikap baik terhadap kita. Adakalanya orang-orang di sekeliling kita bersikap “tidak baik”. Mungkin karena mereka merasa iri, dendam dan tidak senang dengan kehadiran kita, dan sebagainya, sehingga mereka berbuat sesuatu yang menyebabkan kita mengalami penderitaan tertentu.
d. Penderitaan karena membela nama Yesus Kristus (Wahyu 2 : 3).
Penderitaan ini merupakan konsekuensi logis dari sikap untuk mempertahankan imannya kepada Yesus Kristus. Misalnya : Setelah para murid menerima kuasa (Roh Kudus), mereka memiliki kekuatan untuk berani bersaksi tentang Kristus kepada dunia. Konsekuensinya, para murid harus berhadapan dengan sikap-sikap sesamanya ataupun kebijakan pemerintah yang menghimpit dan menindas mereka. Contoh konkrit adalah Stefanus, yang mati dirajam dengan batu oleh masyarakat Yahudi karena hasutan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi.
Contoh yang lain, adalah penderitaan umat Allah yang dikisahkan oleh Kitab Wahyu, yang berani menyuarakan suara kenabian walaupun tertuju kepada pemerintah, maupun ketika mereka menghadapi ajaran palsu yang terjadi dalam tubuh jemaat (Wahyu 2 : 3).
Keempat contoh penyebab penderitaan itu dapat disimpulkan, bahwa penderitaan dapat disebabkan dari dalam diri manusia sendiri dan dari luar dirinya. Apapun penyebabnya, penderitaan adalah perkara yang tidak menyenangkan. Lalu bagaimanakah sikap yang seharusnya dilakukan oleh kita sebagai umat percaya ?
ASPIRASI
Sepanjang peristiwa penangkapan dan penyaliban Tuhan Yesus, Bunda Yesus bersama Magdalena dan Yohanes berdiri di suatu tempat tersembunyi di forum. Mereka diliputi dukacita yang begitu hebat, yang semakin lama semakin dahsyat karena segala yang mereka dengar dan saksikan. Ketika Yesus digiring ke hadapan Herodes, Yohanes membimbing Santa Perawan Maria dan Magdalena melewati tempat-tempat yang telah dikuduskan oleh jejak-jejak kaki-Nya. Lagi, mereka melayangkan pandangan ke kediaman Kayafas, kediaman Hanas, Ophel, Getsemani, dan Taman Zaitun. Mereka berhenti dan merenung di setiap tempat di mana Ia jatuh, atau di mana Ia menderita suatu sengsara tertentu. Mereka menangis diam-diam, membayangkan segala yang telah Ia derita. Santa Perawan Maria kerap kali berlutut serta mencium tanah di mana Putranya jatuh, sementara Magdalena meremas-remas tangannya dalam duka yang pedih. Yohanes, meskipun tak kuasa membendung airmatanya, berusaha keras menghibur kedua perempuan kudus itu, menopang serta membimbing mereka. Demikianlah devosi kudus “Jalan Salib” pertama kali dilakukan; demikianlah Misteri Sengsara Yesus pertama kali dihormati, bahkan sebelum Sengsara itu selesai digenapi. Santa Perawan, teladan kemurnian yang tak bercela, dialah yang pertama mengungkapkan penghormatan mendalam yang dirasakan Gereja terhadap Tuhan Yesus terkasih. Betapa manis dan menghibur hati mengikuti teladan Bunda yang Tak Bernoda ini, melangkahkan kaki kian kemari dan membasahi tempat-tempat kudus dengan airmatanya.
Dengan cara yang amat menyentuh hati inilah Santa Perawan yang tersuci dan terkudus menetapkan dasar devosi yang disebut Jalan Salib. Demikianlah, di setiap perhentian yang ditandai oleh sengsara Putranya, ia menyimpan dalam hatinya jasa-jasa tak kunjung habis Sengsara-Nya, dan mengumpulkan semuanya bagaikan intan permata atau bunga-bunga yang harum mewangi untuk dipersembahkan sebagai persembahan yang paling berharga kepada Bapa yang Kekal atas nama segenap umat beriman.
Dukacita Magdalena begitu dahsyat hingga membuatnya nyaris bagaikan seorang yang telah kehilangan akal. Kasih suci yang tak terhingga, yang ia persembahkan bagi Tuhan kita, mendorongnya untuk menjatuhkan diri di depan kaki-Nya; di sanalah ia meluapkan segala perasaan hatinya (seperti ia menumpahkan minyak narwastu yang berharga ke atas kepala-Nya sementara Ia duduk sekeliling meja). Tetapi, saat hendak melaksanakan dorongan hatinya ini, suatu jurang yang gelap tampak menghalangi antara dirinya dengan Dia. Rasa sesal yang ia rasakan atas dosa-dosanya begitu hebat, begitu pula rasa syukur atas pengampunan dosanya. Tetapi, saat ia rindu mempersembahkan tindakan kasih dan syukur sebagai wangi-wangian yang berharga di kaki Yesus, ia melihat-Nya dikhianati, menanggung sengsara, dan akan segera wafat demi silih atas segala pelanggarannya, yang diambil alih dan ditanggungkan-Nya atas DiriNya. Penglihatan ini meliputinya dengan perasaan ngeri, hingga nyaris meluluh-lantakkan hatinya dengan perasaan kasih, tobat dan syukur. Penglihatan akan kedurhakaan mereka bagi siapa Ia akan segera wafat, melipatgandakan kepiluan hatinya sepuluh kali lipat; setiap langkah, setiap kata, ataupun setiap gerak-gerik mengungkapkan sengsara jiwanya.
Hati Yohanes diliputi kasih. Ia berduka hebat, namun tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia menopang Bunda Guru-nya yang terkasih dalam ziarahnya yang pertama melewati perhentian-perhentian Jalan Salib, dan membantunya mewariskan teladan devosi ini, yang sejak itu dilakukan dengan semangat yang sungguh oleh para anggota Gereja Kristiani.
(“The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ, Meditations of Anne Catherine Emmerich”)
VARIASI
Pada hari Jumat,
(kita menyebutnya “Agung”)
Yesus dipakukan
pada kayu yang kaku keras.
Di bawah salib-Nya,
Bunda-Nya berdiri
menangis melihat apa yang telah mereka lakukan.
“Oh, andai aku dapat memeluk-Nya,” katanya pilu,
“Memeluk Putraku satu-satunya!”
“Bapa, terimalah Aku,” kata Yesus,
“Terimalah Aku dalam tangan-Mu.”
Allah Bapa membungkuk
lalu menerima-Nya,
dan memeluk Putra Tunggal-Nya itu.
“Aku Allah yang membangkitkan,
“hidup-Mu baru saja dimulai.
“Aku Allah dari yang hidup,
tak ada makam yang boleh menahan Putra-Ku.”


2.Maria dan Yudas
"Amor vincit omnia-Cinta mengalahkan segala."
Yoh 12: 1-11
Maria di Betania bersujud pada kaki Yesus, meminyaki kakiNya dengan minyak narwastu yang mahal harganya dan menyekanya dengan rambutnya.
Hal ini dilakukan Maria sebagai ungkapan syukur atas kasih Yesus yang telah banyak dialaminya.
Selain mahal, minyak itu sebenarnya hanya digunakan untuk mengurapi kepala raja tapi Maria menggunakannya untuk membasuh kaki Yesus.
Perbuatan Maria ini tentunya menimbulkan pertanyaan orang, terutama Yudas Iskariot.
Yudas lebih mempertimbangkan keuntungan yang akan didapat bila minyak narwastu itu dijual demi orang miskin.
Tapi murni-kah keinginan Yudas?
Ya. Yudas tergolong 12 rasul, tapi ia tidak menunjukkan perilaku sebagai muridNya,
yang melayani Dia (seperti Marta),
yang membuat banyak orang lain percaya (seperti Lazarus),
dan yang bahkan ikut berperan untuk mempersiapkan kematianNya (seperti Maria).
Yudas lebih hadir sebagai murid yang “slintat slintut”, "palsu"-berpura-pura membela 'kebaikan' padahal hatinya penuh 'keburukan'.
Hal ini kembali menunjukkan bahwa murid Yesus menampakkan kesejatiannya melalui tindakan nyata bukan sekadar kata-kata. Bersama Marta-Lazarus+Maria, kita pun ditantang untuk menunjukkan kesehatian kita dengan rencana Allah. Pergumulan, rasa syukur, relasi, dan penundukan diri Maria membuahkan tindakan yang pas dengan rencana Tuhan.
Jauh berbeda dari tindakan Yudas yang katanya demi prinsip 'yang baik' (kristus sentris) padahal nyatanya didasari kepentingan 'yang buruk' (egosentris).
"Adoramus Te,
sanctissime Domine Iesu Christe,
hic et ad omnes Ecclesias tuas,
quae sunt in toto mundo,
et benedicimus tibi;
quia per sanctam Crucem Tuam redemisti mundum-
Kami menyembah Engkau,
Yesus Kristus yang maha kudus,
di sini dan di semua gereja-Mu yang ada di seluruh dunia,
dan kami memuji Engkau;
sebab dengan Salib SuciMu, Engkau menebus Dunia."
"Dari Lebak Bulus ke Pangkalan Jati- Jadilah orang yang tulus dan murah hati."


3.MINGGU PALMA
Yes. 50:4-7;Mzm. 22:8-9,17-18a,19-20,23-24;Flp. 2:6-11;Mrk. 14:1 - 15:47(Mrk. 15:1-39)
"Eloi, Eloi, lama sabakhtani-
Allah-Ku, Allah- Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?"
Inilah salah satu seruan dari 7 wasiat Yesus di atas salib.
(Luk 23:34,Luk 23:43, Luk 23:46, Mark 15:34, Yoh 19:26-27, Yoh 19:28, Yoh 19:30)
Inilah seruan Anak Manusia yang harus menderita di atas kayu salib bukan karena kesalahanNya tapi karna menanggung kesalahan kita.
Salib sendiri adalah lambang penghukuman paling berat untuk penjahat paling kejam.
Mati disalib berarti mati dalam penderitaan dahsyat dan kehinaan tiada tara.
Itulah yang Yesus alami:
Yang Adil harus menanggung hukuman yang tidak adil bahkan disalibkan di antara dua penjahat, seolah Dia adalah penjahat.
Adapun Yesus alami "tiga penyaliban" al:
A.Ditinggalkan:
Yesus yang Maha Kasih telah diperlakukan tanpa kasih.
Di bawah salib, banyak orang yang mengejek dan menertawakan Dia, terlebih para pemimpin agama Yahudi.
Para muridNya pun pergi meninggalkanNya.
B.Disingkirkan:
Yesus disingkirkan dari tengah kota Yerusalem ke Golgota dengan teriakan umat.
Kalau pada awalnya ketika Yesus memasuki Yerusalem maka orang banyak mengelu-elukan dan menghormati Dia sebagai seorang raja (Mrk 11:1-11).
Tapi kini, ketika Yesus di hadapan pengadilan, teriakan sanjungan yang Yesus terima telah diganti dengan olok-olokan.
Persahabatan disingkirkan oleh permusuhan, penghormatan dipinggirkan oleh penghinaan.
C.Dikorbankan:
Pilatus tahu bahwa penatua dan imam-imam kepala dengki dengan Yesus (Mrk 15:10).
Kedengkian-lah yang mendesak mereka tega mengorbankan Yesus dan membebaskan Barabas sang pembunuh.
Indahnya, Yesus yang jelas-jelas dikorbankan dan dikambinghitamkan tetap tenang dan tidak banyak bersuara.
Bukan karena Dia kalah melainkan karena Dia meyakini bahwa inilah jalan keselamatan sejati bahwa dengan menjadi “korban”, dunia diselamatkan.
"Ada baki isinya kurma-
Selamat memasuki minggu palma."

4.SABTU PASKAH
“Scimus Christum surrexisse a mortuis vere"
Sabbato Sancto de Vigilia Paschali,
Sabtu Suci
Yeh 36:16-28, Maz 42:3-5, 43:3-4, Rom 6:3-11, Luk 24:1-12
“Scimus Christum surrexisse a mortuis vere - Kita tahu dg pasti bhw Kristus tlh bangkit dr kematian”. Inilah slh satu pesan inti paskah yg kita rayakan malam ini (Yun: “pascha”, Ibr: “pesach”, Inggris: “passover”=melewati). Dlm buku sy, “TANDA” (Kanisius), Paskah bs berarti “Perempuan Adalah Saksi Kebangkitan Allah” dg 3 ajakan dasarnya, al:
A. Bersyukurlah:
Ada 3 nama “Maria”, al: Maria Magdalena (yg dibebaskan dr 7 roh jahat), Maria Salome/Ibu Yakobus (janda dari Zebedeus), Maria Yohana (yg menikah dua kali). Sejak dulu, perempuan dianggap sbg kaum lemah+tersingkir, dlm bhs Ismail Marzuki: ‘sejak dulu wanita selalu dijajah pria’. Adapun tiga steretotipe sederhana yg melekat pd perempuan, yakni: sumber dosa (Ada istilah “hawa” nafsu, bukan “adam” nafsu), tdk boleh bertanya/berpendapat+mengajar; golongan kelas dua (hanya di “sumur, dapur+kasur”). Dkl: Mereka adl wajah kita semua, manusia hina yg kecil-miskin-tersingkir+tdk sempurna tp tetap dipilih Tuhan, bukan?
B. Berbenahlah:
”Pergilah ke Galilea,” itulah ajakan Yesus. Mengapa Galilea? Bukankah Yerusalem lbh megah+Betlehem lbh indah? Ya, krn di Galilea-lah, Yesus byk mengajar+mendampingi GrjNya: Ia membuat byk mukjizat+nubuat. Disanalah, Ia makan ikan bersama+menceritakan byk perumpamaan kpd para muridNya. Dkl: Kita diajak utk “pergi”: bangkit dari “kuburan dosa” mjd mns baru yg sll hidup+dekat brsama Tuhan.
C. Bersaksilah:
Dlm kacamata etimologis, paskah kerap disebut “Easter”, nama seorang dewi yg menerbitkan cahaya musim semi yg penuh kesuburan-kehidupan+keindahan. Dlm mitologi paska, ada kelinci dan telor - lambang kesuburan, ada juga bunga bakung - lambang keindahan+kesucian. Bukankah Yesus juga dtg sbg cahaya? Maka, kita yg sudah dipilih Allah juga diajak utk berani menerbitkan “cahaya musim semi” yg menyuburkan, menghidupkan+memberi keindahan. Yg pasti, bukankah kita adl org2 Paskah+Alleluia adl madah kt? Tuhan mengajak kita memadahkan “alleluia” dg sepenuh hati, bukan cuma dg bibir tp dg tindakan nyata: Surrexit Dominus: Tuhan sdh bangkit!
“Nunggang Gajah nganggo Helm - Sugeng Paskah Berkah Dalem”.


5.PASKAH
Kita adalah orang-orang Paskah, dan Alleluia adalah madah kita! Tuhan menghendaki kita memadahkan alleluia dan memadahkannya dengan sepenuh hati, tanpa nada-nada sumbang sang pelantun madah. Marilah kita memadahkan alleluia dengan suara kita dan dengan hati kita, dengan bibir kita dan dengan hidup kita. Inilah alleluia yang menyukakan hati Tuhan. Oh, betapa bahagianya alleluia di surga! Di sini, kita memadahkan alleluia, tetapi kita memadahkannya dalam kecemasan dan kesedihan. Di surga, kita akan memadahkannya dalam damai! Di sini, kita memadahkannya dalam pencobaan dan ancaman bahaya, dalam perjuangan dan derita. Di sana, kita akan akan memadahkannya dalam sejahtera dan dalam persekutuan sejati. Oh, betapa bahagianya alleluia di surga! Di mana tidak akan ada lagi, baik penderitaan maupun perselisihan, di mana tidak akan ada lagi permusuhan, di mana bahkan para sahabat tak akan berpisah lagi. Di sana, kita akan memadahkan alleluia dan juga di sini, kita memadahkan alleluia, tetapi di sini kita memadahkannya dengan pikiran yang sibuk, di sana dalam damai sejahtera, di sini sebagai makhluk fana, di sana sebagai makhluk abadi; di sini dalam pengharapan, di sana telah beroleh apa yang dirindukan; di sini alleluia dalam ziarah, di sana alleluia di tanah air abadi. Bermadahlah seperti seorang peziarah: bermadah dan berjalan! Bukan untuk bermalas-malasan, melainkan membangun kekuatan. Bermadahlah dan berjalanlah! Jika engkau berjalan, majulah dalam perbuatan-perbuatan baik, majulah dalam iman yang teguh, majulah dalam hidup murni tanpa sesat, tanpa jatuh kembali dalam kebiasaan lama, tanpa berhenti. Bermadahlah dan berjalanlah!
With OUR EYES we see
The beauty of Easter
as the earth awakens once more
With OUR EARS we hear
The birds sing sweetly
to tell us Spring again is here...
With OUR HANDS we pick
the golden daffodils
and the fragrant hyacinths
But only
with OUR HEARTS
we feel the MIRACLE of GOD'S LOVE
which redeems all men and women
And only
with OUR SOUL
we can make our 'pilgrimage to God'
and inherit His Easter Gift of ETERNAL LIFE
"JALAN ALLAH, JALAN YESUS DAN JALAN ORANG KRISTIANI ADALAH KERENDAHAN HATI, TIDAK JALAN LAIN."


6.“Tujuh Kata-kata Wasiat Yesus di atas salib”
(3 Bulan, 5 Bintang, 7 Matahari, RJK )
Berdasarkan Injil Lukas 9:22-25, Yesus pernah mengatakan kepada murid-muridNya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku.”
Dkl: Mengikuti Yesus berarti berani memanggul kukNya di atas bahu kita”, sehingga kita dapat “datang kepadaNya, “memikul salibNya” serta “belajar” daripadaNya
(Bdk. Mat 11:28-29).
Dan, pada kali ini, kita akan melihat dan memaknai tujuh kalimat wasiat Yesus di atas kayu salib, yang tercatat-ketat dalam pelbagai Injil, al:
A. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34).
Wasiat ini menunjukkan keagungan jiwa-Nya untuk memberikan pengampunan: “Quoniam bonus, quoniam in saeculum misericordia eius - Sebab Dia baik, dan kasih setianya untuk selama-lamanya.”
Pada saat yang paling menyengsarakan, Ia mengajak kita memiliki cinta kasih ilahi kepada orang lain, bahkan terhadap para musuh.
Di sini belas kasih Allah sedemikian besarnya sehingga Dia mengampuni dosa umat Israel yang berbuat jahat padaNya: 1 Ptr 4: 8: “Kasih menutupi banyak sekali dosa.”
Sungguh cinta yang sangat mengherankan dan tak tergoyahkan, bahkan di tengah-tengah kebiadaban mereka.
Ia ingin mengajak kita mempunyai banyak cinta kasih penuh pengampunan, seperti kata pemazmur:“Tapi Allah mengasihani dan mengampuni umatNya dan tidak membinasakan.” (Mzm 78:38).
Mengapa harus memiliki semangat pengampunan?
Karena inilah salah satu pesan Yesus: "Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Mat 5:44).
Mengapa harus demikian? ayat selanjutnya menjelaskan alasannya.
"Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar."(Mat 5:45)
Alasannya adalah, karena dengan mengampuni, maka kita menjadi anak-anak Bapa.
Seorang penulis Kristen bernama Alfred Plummer (1841–1926) pernah menulis: “To return evil for good is devilish; to return good for good is human; to return good for evil is divine. To love as God loves is moral perfection."
Plummer benar, membalas kebaikan dengan kejahatan berarti membiarkan iblis memasuki hati kita.
Membalas kebaikan dengan kebaikan adalah sesuatu yang insani, sedangkan membalas kejahatan dengan kebaikan adalah sifat ilahi.
Untuk kehidupan kita pun, sebuah rasa sakit hati dan kebencian akan musuh tidaklah sehat.
Kita tidak akan pernah bisa hidup bahagia dalam damai dan sukacita jika kita masih menyimpan dendam dan kebencian.
Satu kalimat klasik yang membuat saya tidak mudah lupa, yakni jalan sederhana ala Bunda Teresa, “Berikanlah pada dunia hal terbaik yang kamu miliki dan kamu akan mendapatkan kekecewaan. Bagaimanapun juga berikanlah pada dunia hal terbaik yang dapat kamu berikan.”
Lihatlah sepenggal kisah di tanah Vatikan, ketika Paus Yohanes Paulus II ditembak oleh seorang Turki bernama Megmed Ali Aqca persis perayaan Maria Fatima, tanggal 13 Mei 1981, pukul 17.19.
Wajar, dalam kacamata manusiawi, jika sang Paus sedih, kecewa, terluka, marah dan sakit hati.
Tapi lihatlah yang terjadi: persis 27 Desember 1983, Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Megmed Ali Aqca di penjara Rebibia Roma. Dia mengunjungi, mendoakan sekaligus mengampuni orang yang nyaris merenggut nyawanya itu.
--------------------------------------------------
B. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan aku di dalam Firdaus.” (Lukas 23:43).
Wasiat Yesus yang kedua di kayu salib ini, merupakan sikapnya yang memberikan ”belas kasihan” terhadap salah seorang penjahat, bernama Dismas, yang turut disalibkan dengan-Nya: “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.” (Mat 5:7).
Dengan itu, kita bisa melihat bahwa Yesus sungguh mencintai para pendosa yang bertobat. Dia datang sebagai Tuhan yang penuh belas kasih. (Bdk: 1 Yohanes 1:9).
Sebenarnya, seluruh rencana dan pelayanan Allah adalah pelayanan belas kasihan. Dia melayani sampai kepada orang-orang yang tidak layak untuk dilayani (bdk. Mzm 145: 8, “Tuhan itu pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setiaNya”).
Tak perlu diragukan bahwa Yesus mengasihi umatNya. Namun demikian ada saat-saat bahwa Alkitab mengatakan secara khusus Dia tergerak oleh belas kasihan. (bdk. Mat 9:36 & 14:14).
Ini merupakan reaksi Yesus terhadap kebutuhan yang dihadapi oleh banyak orang.
Dalam intensi inilah, baik jika kita melihat sebuah contoh sikap berbelas kasih dari perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Luk 10).
Dalam kasus ini, orang yang telah dirampok dan dianiaya sangat membutuhkan pertolongan.
Pertama Yesus memperlihatkan kurangnya belas kasihan dalam diri Imam dan orang Lewi. Padahal Imam dan Lewi adalah dua golongan masyarakat yang dekat-lekat dengan Bait Allah bukan?
Kemudian Dia menampilkan Allah yang berbelas kasih lewat kehadiran seorang tokoh dari Samaria, yang kerap dicap kafir, pendosa dan penyembah berhala. Ia memperlihatkan cara bagaimana belas kasihan harus dilakukan.
Perhatikanlah contoh orang Samaria.
Dia membuktikannya dengan 7 hal pokok yang dibuat secara nyata, al:
Dia membahayakan dirinya sendiri: Ia berhenti sendirian di tengah padang pasir yang sepi, dan mungkin saja ada perompak lain yang siap merampok semua hartanya.
Dia mengalahkan kecurigaan-kecurigaan/prasangka buruk: Orang Samaria di-cap kafir, sesat dan penyembah banyak dewa oleh orang Yahudi, tapi dia tetap saja berinisiatif untuk berbuat baik, tak peduli terhadap pelbagai asumsi buruk/prasangka orang lain yang bisa muncul.
Dia mengorbankan kenikmatan fisik: Dia turun dari kudanya dan membantu membersihkan luka dan rasa sakit si korban perampokan.
Dia menanggung ketidaknyamanan fisik: Dia menaiki kuda dan menaruh si korban di belakangnya, otomatis bebannya bertambah berat, bukan?
Dia mengorbankan waktu: Dia berhenti, dia membantu si korban dan bahkan dia mencarikan rumah penginapan buat si korban itu. Itu pasti butuh waktu, bukan?
Dia menyumbangkan uangnya untuk menginap dan perawatan si korban.
Dia tetap memberi perhatian, kalau-kalau uang yang dia berikan masih kurang. Dia berjanji akan kembali dan menambahkan uangnya.
Dari tujuh hal di atas inilah, suatu kebenaran pokok dari Yohanes dalam I Yoh 3: 17 bisa dicanangkan: “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?”
-------------------------------------------------------
C. “Ya Bapa ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu” (Luk 23:46).
Disini Yesus menegaskan kembali wasiatnya yang mengajarkan suatu “kepasrahan”.
Dalam bahasa medis, kerap kita mendengar kalimat ini: “ Homo proponit, sed Deus disponit -Manusia berencana, Tuhan yang memutuskan”.
Sepanjang hidupNya, Yesus selalu mempercayakan dirinya ke dalam tangan BapaNya. Di akhir hidupNya, Ia pun menyerahkan diriNya kepada Bapa.
Ucapan tersebut sendiri bersumber dari keyakinan-Nya bahwa melalui kematian, Ia akan datang kepada Bapa. Kepasrahan sendiri berarti membiarkan Tuhan menjadi Tuhan atas kita, dan bukannya menjadikan diri sebagai Tuhan.
Kepasrahan berarti membiarkan Tuhan menuliskan skenario hidup kita, dan bukannya memaksakan skenario kita sendiri.
Kepasrahan juga berarti kita menepati janji luhur yang kita ucapkan dalam Doa Bapa Kami, “Jadilah kehendak-Mu (bukan kehendakku); di atas bumi seperti di dalam surga”.
Kepasrahan berarti bahkan di saat-saat menderita, kita berseru seperti Yesus di Taman Getsemani, “Bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk 22:42).
St. Fransiskus Asisi melihat kepasrahan disini sebagai suatu kebajikan dari segala kebajikan, berpasrah merupakan pucuk dari cinta kasih, bau harum dari kerendahan hati, jasa-jasa dari kesabaran dan kesetiaan dari ketekunan.
Berpasrah tidak sama dengan nasib, tetapi keyakinan akan penyelenggaraan Allah, kebaikan Allah, bahwa Tuhanlah yang secara aktif memelihara dan membimbing kita.
St. Fransiskus lebih lanjut mengajarkan suatu sikap pasrah di hadapan Tuhan, supaya kita tidak meminta sesuatupun, namun juga tidak menolak apa yang diberikan.
Tidak mau meminta sesuatu bukan karena sombong tetapi percaya bahwa Tuhan Mahabaik, Ia memelihara hidup dan memberikan yang terbaik bagi kita: “Bila saya mengasihi Allah, saya hanya menginginkan apa yang dikehendaki Allah”.
----------------------------------------------------
D. “Eloi, Eloi, lama sabakthani?” (Mrk 15:34, Bdk: Mat 27:46).
Kalimat yang dikutip dari Mazmur 22:2 ini, dalam bahasa Ibrani berarti, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Hal ini merupakan sebuah seruan yang menyayat hati.
Setiap kali saya mengingat wasiat yang keempat ini, saya terkenang sebuah antifon mazmur dari ibadat Completorium di Seminari Menengah beberapa tahun yang silam: “dari jurang yang dalam, aku berseru kepadaMu ya Tuhan – Tuhan dengarkanlah seruanku - De profundis clamavi ad te, Domine! Domine, exaudi vocem meam!”
Ucapan perih ini sebenarnya mengikuti sebuah peristiwa ajaib, “Pada jam dua belas, kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga” (Markus 15:33).
Selama hidupNya, Yesus tahu apa artinya ditinggalkan, begitu pedih, perih. Disinilah, kita diajak untuk lebih berani mengalami sekaligus memaknai pergulatan secara pribadi, terlebih ketika kita ada dalam pengalaman salib dan ‘malam gelap’.
Ingatlah, ketika kita berani mengalami pergulatan bersama Tuhan, bisa jadi pharmakos (“racun,” karena dilukai atau dikecewakan) diubahNya menjadi pharmakon (“obat” karena dicintai dan diampuni):
“Karena kasih Allah yang begitu besar pada dunia ini sehingga ia memberikan anaknya yang supaya yang percaya tidak binasa tetapi beroleh hidup kekal.” (Bdk. Yoh 3:16).
Menyitir kutipan Paus Yohanes Paulus II pada 7 Juni 1997, dimana ditegaskan, “di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan”, (1Yoh 4:18), kiranya itulah buah dari wasiat keempat, yang mengajak kita mengingat bahwa Yesus itu hadir sebagai teman sepergulatan dan seperjalanan dengan segala ruwet rentengnya.
Bukankah tepat perkataan pemazmur: “Cor contritum et humiliatum, Deus, non despicies - Hati yang patah dan remuk redam, tidak akan Kau pandang hina,
ya Allah.”
-----------------------------------------------------------
E. “Ibu inilah, anakmu!” Anak, Inilah ibumu!” (Yoh 19:26-27).
Wasiat Yesus yang kelima ini dialamatkan pertama-tama kepada ibuNya, Maria: “Ibu, inilah, anakmu”, dan murid yang dikasihiNya, “Inilah ibumu!”.
Dikatakan dalam Kitab Suci, “Dekat salib Yesus, berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Kleopas dan Maria Magdalena” (Yoh 19:25)
Dkl: Yesus mengajak kita memaknai iman sebagai sebuah “persaudaraan”. Kita dipanggil untuk melihat sesama umat beriman sebagai saudara. Baiklah kalau kita kembali memaknai sebuah lagu rohani populer berjudul, “Hari Ini Kurasa Bahagia.” Ada sebuah lirik sederhananya berkata seperti ini: “Kau saudaraku, kau sahabatku, tiada yang dapat memisahkan kita.”
Jelaslah, bahwa Tuhan memanggil kita dalam semangat persaudaraan dan persahabatan yang penuh kehangatan: antara kita dengan Dia, antara kita dengan sesama, antara kita dengan alam semesta dan yang pasti antara kita dengan diri kita sendiri, bukan?
“Oh, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya…” (Roma 11:33-36).
-------------------------------------------------
F. “Aku haus!” (Yoh 19:28).
Tampaklah Yesus juga sangat membutuhkan cinta kita.
Bunda Teresa dari Calcutta mengatakan, hausNya tak pernah berkesudahan. Disinilah, Yesus mengajak kita untuk “bersolider”, karena Yesus jelas hadir lewat sesama kita yang haus: yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difable (Bdk.Mat 25:35-45), soal Penghakiman Terakhir).
Seorang budayawan, cendekiawan sekaligus rohaniwan bernama Romo Mangun pernah mengatakan, Gereja Katolik itu bisa “admiranda (dikagumi), sed non amanda” (tapi tidak dicintai).
Nah, menurut hemat saya, jika Gereja mau dikagumi sekaligus dicintai (admiranda et amanda), aktualitas wasiat keenam ini mendapatkan ruang geraknya.
Gereja diajak memiliki semangat solidaritas dengan masyarakat dan dunia sekitarnya.
Secara teoretis, ada tiga tahapan solidaritas, yakni:
a. perbuatan solidaritas, apa pun jenisnya.
b. ucapan solidaritas, bila kita tak dapat mewujudkannya dalam perbuatan.
c. doa; kita selalu dapat menunjukkan solidaritas kita dengan doa.
Baiklah kita juga melihat kembali apa yang telah diajarkan Gereja mengenai karya-karya kasih solidaritas sosial, yang bisa kita buat kepada sesama :
Karya-karya Jasmani:
* memberi makan kepada yang lapar
* memberi minum kepada yang haus
* memberi tumpangan kepada tunawisma
* mengenakan pakaian kepada yang telanjang
* mengunjungi orang miskin
* mengunjungi orang tahanan
* menguburkan orang mati
Karya-karya Rohani:
* mengajar
* memberi nasehat
* menghibur
* membesarkan hati
* mengampuni
* menanggung dengan sabar hati
* mendoakan mereka yang hidup dan mati
---------------------------------------------------
G. “Sudah selesai” (Yoh 19:30,“Tetelestai”).
Jauh sebelum menjalani penderitaan di kayu salib, Yesus berkata, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34).
Dan, kalimat inilah bukti nyatanya, purna karyanya sebagai utusan Allah yang memaknai sebuah ”pertanggungjawaban.”
Ia melakukan juga menyelesaikannya. Bukti cintanya kepada kita.
Ini merupakan sebuah pekik kemenangan.
Dengan berkata demikian, Ia menegaskan, bahwa Ia telah menyelesaikan seluruh tugas kemesiasanNya secara utuh dan penuh.
Bahwa Ia sudah menerima secara penuh hukuman ilahi atas segala dosa dan kejahatan umat manusia.
Karena itu, bagi mereka yang percaya kepada Kristus, tidak ada satu dosa pun tersisa untuk dihukum oleh Allah. Ia juga mengajarkan bahwa hidup pada hakekatnya ialah pengabdian sepenuh hati dan seutuh hati kepada Allah sang pemberi hidup: "Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi," (2 Petrus 1:4).
Pastinya, dari ketujuh kalimat wasiat Yesus, kita diajak semakin menghayati penggalan pernyataan ini,
”Benar, mengikutiMu bukan langit biru yang Kau janjikan, juga bukan bunga-bunga indah yang bertebaran, tetapi jalan penuh lika-liku, karena jalan itu pula yang pernah Kau lewati…..”
====
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar