Ads 468x60px

Awas Politik Genderuwo !

Sebuah Intermezzo
Awas.Politik.Genderuwo!!
Di perempatan sebuah kota terlihat dua baliho besar berjajar. Baliho itu bergambar lelaki dan perempuan, dandanannya mewah dan cantik.
Orang tahu, mereka sepasang suami-istri yang sama-sama nyaleg untuk Pemilu. ”Mohon doa restu”, demikian tertulis pada baliho itu. Di mana-mana terlihat baliho atau poster caleg. Gambar-gambar caleg tak dikenal tiba-tiba muncul. Untuk meyakinkan dirinya, caleg mendompleng figur-figur terkenal. Maka di baliho-baliho atau poster-poster itu kecuali foto diri mereka terpampang foto Megawati atau SBY atau Hamengku Buwono IX atau Bung Karno. Gambar-gambar ini mengungkapkan, mereka sendiri tak seberapa yakin akan otoritasnya karena itu mereka perlu nunut otoritas.
Muncul sebutan sinis: caleg bonek (modal nekat), caleg waton maju (asal maju), caleg nyuwun pangestu (bermodal mohon doa restu), caleg ojo lali jape methe coblos sedulur dhewe (pedomannya jangan lupa cobloslah teman sendiri), dan lain-lain. Banyak orang yang potongan ataupun auranya tak meyakinkan, tapi tak rikuh mengenalkan diri sebagai caleg. ”Wong ingah-ingah ngono kok wani-wanine nyaleg yo? (Canggung dan wagu begitu kok berani nyaleg ya),” begitu komentar orang.
Para caleg itu nyaris tak punya otoritas politik yang diharapkan masyarakat. Otoritas adalah fundamental bagi politik. Di zaman modern yang amat kompleks, memperoleh otoritas di bidang mana pun, apalagi politik, sesungguhnya bukan hal mudah. Otoritas adalah prasyarat bagi kepemimpinan. Tak mungkin pemimpin menjalankan tugasnya bila tak punya otoritas. Dalam hal ini otoritas adalah semacam inteligensi sosial yang mampu menyelesaikan dan mendamaikan pelbagai tuntutan sosial yang saling bertentangan. Ini mengandaikan, orang yang berotoritas sekaligus harus punya kematangan dan keterampilan psikologis untuk berempati dengan kepentingan yang berseberangan dengan kepentingan dirinya.
Bagi kebanyakan orang, melihat keutamaan lawan bukanlah hal mudah. Biasanya orang hanya melihat apa yang negatif pada lawannya. Lain dengan orang yang punya otoritas, apalagi otoritas politik. Ia dengan mudah melihat keutamaan lawan, mengakuinya, dan mempersatukan keutamaan yang ada untuk meraih tujuan bersama. Selain itu, otoritas juga mensyaratkan, orang mampu berpikir dalam kedalaman dan keluasan, bukan hanya untuk jangka pendek, melainkan juga jangka panjang. Kemudian ia mesti mampu mengoperasionalkan semuanya dalam kebijaksanaan dan langkah konkret. Karena itu, otoritas juga menuntut keterampilan-keterampilan praktis, seperti kemampuan organisasi, koordinasi, dan manajemen.

Mudah pecah
Dalam khazanah filsafat politik, otoritas diletakkan tidak dalam apa yang disebut die Politik, tapi dalam das Politische. Die Politik adalah politik praktis sehari-hari, sedangkan das Politische adalah politik sampai ke dasar-dasarnya. Das Politische bisa disebut fundamen yang memungkinkan politik bisa berjalan. Namun, sering die Politik atau politik harian dan das Politische atau fundamen politik saling bertentangan. Sebab, tak jarang politik harian terjerumus ke omong kosong, kebohongan, janji palsu, pendangkalan masalah, dan konsensus asal-asalan. Adapun fundamen politik menghendaki kejujuran, ketulusan, kebenaran, pendalaman masalah, dan pencapaian konsensus lewat pengambilan keputusan bermartabat.
Fundamen politik itu tak pernah bisa direduksi melulu menjadi politik. Langkah politik pemerintah sebijak apa pun tetap belum bisa mengungkapkan secara memadai nilai-nilai yang terkandung dalam fundamen politik. Fundamen politik misalnya mengakui pertentangan antara kawan dan lawan sebagai fakta abadi. Tetapi, diakui sebagai nilai yang abadi pula bahwa manusia bisa menyelesaikan dan mempersatukan pertentangan itu. Politik yang mengingkari fakta dan nilai ini akan mengingkari fundamennya.
Politik harus menerima dan menyelesaikan pertentangan kawan dan lawan, tapi disertai kesadaran bahwa politik takkan pernah bisa menyelesaikan masalah itu sampai tuntas. Menerima pertentangan sebagai fakta dan menyelesaikannya tanpa putus asa walau sadar penyelesaian takkan pernah bisa setuntas-tuntasnya, itulah salah satu fundamen politik demokrasi.
Fundamen politik macam itu lain dengan politik dangkal-dangkalan yang mendoktrinkan bahwa kesatuan itu ada sejak semula karena itu kesatuan mudah diusahakan. Bagi fundamen politik, bukan kesatuan, melainkan perbedaan dan pertentanganlah yang ada sebagai awal. Penerimaan akan perbedaan inilah dasar riil bagi politik sehingga politik dimungkinkan untuk mengusahakan kesatuan secara riil pula. Intelektual Perancis, Oliver Marchart, mengatakan, demokrasi bukanlah sesuatu yang pasti, melainkan sesuatu yang akan selalu datang. Karena itu, dengan demokrasi, kita harus selalu berani memulai hal baru dengan gairah, betapapun sulit dan perihnya. Karena itu, jalan menuju demokrasi sangatlah panjang.

Di Eropa pun pada awalnya tiada demokrasi. Yang ada kekuasaan otoriter.
Di Inggris, baru dengan lahirnya Magna Charta 1215, kekuasaan absolut para raja dibatasi.
Di Jerman, tahun 1517 Martin Luther menyerang kekuasaan tanpa batas hierarki gereja. Inilah saat benih kebebasan ditaburkan. Baru pada abad-abad berikutnya lahir pikiran-pikiran baru, yang mengakhiri hak istimewa individu karena garis keturunan, baik di bidang sosial maupun politik, dan dari sinilah lahir demokrasi.
Di Perancis, Revolusi 1789 menumbangkan monarki absolut. Toh baru seratus tahun kemudian muncul demokrasi yang relatif stabil. Demokrasi itu pun sempat diguncang dengan pelbagai cobaan dan gangguan: pemberontakan dan rezim teroris Robespierres, penumpasan perlawanan para petani di Perancis wilayah barat, munculnya dua kekaisaran yang saling berselisih dan menyeret seluruh Eropa dalam konflik dan peperangan, yang menghancurkan rakyatnya sendiri (Die Zeit, 11/7/2013).
Di Cile, jalan menuju demokrasi juga harus didahului dengan tahun-tahun kelam di bawah rezim diktator Augusto Pinochet.
Hal sama dialami Indonesia. Sebelum merekah reformasi 1998, 30 tahun kita hidup di bawah rezim Orba yang menindas kebebasan dan memakan sekian banyak korban.

Stres sosial
Demokrasi memang nilai yang mahal. Dan, demokrasi itu sangatlah rawan. Tak ada hal yang demikian mudah pecah seperti demokrasi. Sekali demokrasi itu pecah, suatu bangsa bisa diporakporandakan oleh kekacauan. Jalan termudah mengatasi kekacauan itu adalah otoriterisme atau diktatorisme, yang di mana-mana sudah terbukti senang menindas dan meneguk darah rakyat sendiri. Kita pun pernah mengalami itu. Betapapun rawannya, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling tulus dan jujur karena hanya demokrasilah tempat di mana rakyat diakui martabatnya dan bisa menuntut hak dan menyalurkan aspirasinya.
Karena itu, betapapun sulitnya, demokrasi harus tetap diperjuangkan. Dan, seperti terlihat di atas, tidaklah memadai jika kita memperjuangkan demokrasi hanya lewat die Politik, tanpa das Politische atau fundamen politik itu sendiri. Pada bangsa Indonesia, das Politische itu kiranya sudah dilihat secara intuitif dan dirumuskan dengan jelas, yakni empat pilar hidup berbangsa: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Seperti das Politische lain, empat pilar hidup berbangsa tak bisa diperjuangkan dengan tergesa-gesa, apalagi di tengah pertentangan dan perbedaan yang takkan pernah tuntas terdamaikan. Perlu kesabaran dan napas panjang memperjuangkannya.
Das Politische itu melingkupi otoritas. Dan, hanya dengan otoritas, bukan melulu dengan politik praktis, das Politische bisa dihidupkan dan dijalankan. Empat pilar hidup berbangsa kita terkulai lemah dan nyaris lumpuh, mungkin karena politikus-politikus kita sangat tidak mempunyai otoritas dalam lingkup das Politische itu. Politikus kita, lebih-lebih anggota DPR, hanya pintar bermain dalam ranah die Politik, hingga mereka menjalankan tugasnya dengan dangkal, mengobral janji kosong, berbohong, dan membuat politik jadi politik uang. ”Otoritas yang palsu membuat masyarakat stres dan sakit. Dan, di antara segala stres, stres sosial adalah yang paling jelek,” begitu dikatakan Andreas Meyer-Lindenberg, Direktur Pusat Kesehatan Jiwa Manusia, di Mannheim.
Karena tiadanya otoritas berlingkup das Politische, kita juga mengalami pelbagai stres sosial tak tertanggungkan. Kekerasan, kriminalitas, dan pembunuhan, bahkan di kalangan remaja, seakan sudah jadi hidup harian kita. Hidup sosial kita jadi tidak nyaman. Belum lagi rasa tidak aman sosial karena keretakan sosial dan agama yang disebabkan miskinnya otoritas politikus kita dalam mengatasi gerakan kelompok yang mengancam fundamen politik kebinekaan dan kesatuan bangsa.

”Nggege mangsa”
Otoritas itu tidak datang dengan sendirinya dan tiba-tiba. Dalam rangka politik, apalagi berkenaan dengan fundamennya yang terdalam, otoritas itu sesungguhnya semacam kepercayaan. Artinya, otoritas itu bisa terjadi karena orang percaya akan pribadi yang memiliki otoritas itu, dan kemudian mengakuinya. Jadi, otoritas itu relasional. Maka tak mungkinlah otoritas itu dibeli dengan uang atau diobralkan hanya dengan kampanye politik. Untuk meraih otoritas itu, dibutuhkan waktu yang harus dilewati dengan penuh kesabaran dalam membangun kepercayaan dan pengakuan.
Seperti demokrasi, otoritas juga perlu waktu dan kesabaran. Dalam hal ini benar jika orang berkata: ”Kesabaran juga keutamaan demokrasi.” Jika demikian benar pula dikatakan, kesabaran juga salah satu das Politische dari demokrasi. Maka demokrasi bukan lagi sekadar politik, melainkan juga perihal yang menyangkut kehakikatan, kebudayaan, dan spiritualitas manusia, yang dalam hal ini adalah kesabaran.
Khazanah kebudayaan Jawa punya ajaran yang dalam tentang kesabaran ini, yakni ojo duwe watak nggege mangsa. Banyak hal di dunia ini tak bisa di-gege mangsa, termasuk kuasa. Kuasa iku ora bisa digege, kuasa itu tidak bisa di-age-age, dimiliki dengan cepat dan tergesa-gesa. Masuk akal, karena kuasa, apalagi dalam arti otoritas, tak tergantung melulu pada kita yang ingin memilikinya, tapi tergantung kepercayaan, pengakuan orang lain terhadap kita, dan relasi mereka dengan kita. Otoritas dalam paham Jawa harus diraih perlahan-lahan. Orang yang ingin meraihnya harus sanggup melewatkan waktunya dengan sabar, menyucikan diri hingga pikirannya wening, bening, dan sanggup mengingkari kepentingan dirinya demi orang lain yang nanti harus dilayaninya. Otoritas mengandaikan askese dan pengorbanan tiada mudah.
Pemilu sudah di ambang mata. Pemilu kali ini pun tampaknya dibayang-bayangi defisit otoritas. Caleg-caleg tak menunjukkan diri punya kualitas berotoritas. Banyak pula yang kelihatan tak menawarkan apa-apa kecuali citra. Maklum sebagian besar caleg nggege mangsa. Petuah Jawa, orang nggege mangsa biasanya pikirannya tak penuh, tak bisa bening, gampang kacau, orangnya tak pedulian dan tak berempati, akalnya menyimpang ke sana kemari, gampang terkena godaan, tak punya kemantapan, orang yang tak bisa dipercaya dan memang tak bisa dipercaya. Rincian watak nggege mangsa yang ditampakkan terang-terangan oleh banyak anggota DPR periode sebelumnya akan nongol kembali karena 90 persen mereka mencalonkan diri lagi.
Dalam suatu pentas dagelan, pelawak Marwoto Kawer pernah berkisah: dulu anak-anak kecil sering ditakut-takuti, jangan kamu dekat-dekat ke pohon-pohon yang rindang karena di sana ada genderuwo. Kalau dekat-dekat ke pohon-pohon itu, kamu bisa digondol genderuwo. Sekarang pohon-pohon itu malah banyak dipasangi dan dipenuhi gambar-gambar para caleg. ”Kok, berani-beraninya, ya, mereka tinggal di pohon-pohon itu? Mereka itu siapa, ya? Jangan-jangan mereka juga genderuwo,” kata Marwoto, yang disambut riuh tawa para penonton.
Mungkin saja memang, karena miskin akan otoritas yang dibutuhkan oleh demokrasi, caleg-caleg yang nggege mangsa itu bakal menjadi ”genderuwo politik”, yang menggelisahkan dan menakutkan masyarakat. Kita patut takut pada ”politik genderuwo” itu karena politik itu pasti akan menyebabkan stres sosial, stres yang terjelek dari segala stres. Karena ulah mereka yang kurang berotoritas politik ini bisa-bisa bangsa ini dibawa pada depresi sosial yang sulit disembuhkan.
Dan, bolehlah kita ingat bahwa mereka-mereka yang kurang berkualitas dalam otoritas tapi berkuasa biasanya cenderung otoriter dan bisa menjerumuskan bangsa ke dalam otoriterisme. Bahaya otoriterisme karena lemahnya otoritas demokrasi itulah ”genderuwo politik” yang paling harus kita takuti. Maka, kita mesti ekstra kritis dan waspada kepada para ”genderuwo politik” itu jika mereka berkuasa nanti. (Sindhunata).


NB:
MENGAPA HARUS KITA PILIH PEMIMPIN YANG BENAR BENAR BAIK?

(1) No More Lame-Duck Presidents, please:
Paling tidak, semenjak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, bahkan mungkin jauh sebelumnya, Republik Indonesia tidak pernah mempunyai presiden yang terpilih secara demokratis yang partainya sekaligus menguasai parlemen, tanpa harus berkoalisi dengan siapapun.
Hanya Soekarno dan Soeharto yang berkuasa sekaligus menguasai DPR-RI, bahkan MPR-RI. Tetapi cara mereka memperoleh dominion atas DPR tidak melalui proses demokrasi yang murni seperti yang kita kenal sekarang. Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY I, dan SBY II, ketika memerintah, harus berkoalisi dengan aneka partai menengah dan gurem. Bahkan parlemen justru dikuasai oposisi pun pernah.
Esensi dari kerinduan banyak orang pada kepemimpinan Soekarno, dan lebih lagi pada era ‘ketegasan’ Soeharto, menurut saya, tidaklah pasti karena keduanya adalah pemimpin yang jauh lebih baik dari Habibie, Gus Dur, Megawati, maupun SBY. Hakikat dari efektifitas dua presiden pertama RI adalah karena DPR bersikap jinak total di masing-masing era Soekarno dan Soeharto. Sehingga apa saja yang dicanangkan pemerintah, pasti diamini langsung oleh DPR (dan MPR). Sedangkan sekarang, sebagus apapun gagasan pemerintah, bisa saja dijegal oleh aneka manuver DPR yang kini memang semakin susah diatur, kolusif, sektarian, dan partisan. Semua presiden RI di zaman era reformasi adalah ‘lame duck president’ (presiden yang tidak menguasai parlemen secara mutlak).
Dengan kata lain, andaikan Soeharto memimpin Indonesia sekarang, dan harus menghadapi DPR yang sekarang — belum tentu beliau akan sebagus SBY sekarang. Sebaliknya juga begitu, kalau SBY menggunakan kendaraan ala ‘Back To The Future’ menjadi presiden di zaman Orba, mungkin SBY akan jauh lebih baik dari Soeharto. Dapat kita simpulkan bahwa kuncinya ada di apakah presiden bisa ‘mendikte’ parlemen atau tidak, dan bukan
apakah Soeharto lebih jago dalam memimpin negara ketimbang SBY.

(2) A Leader should Know How to Choose The Best Ministers and Advisors:
Contoh yang paling terang dari keterampilan yang satu ini, di mana diwujudkan dengan gemilang oleh seorang presiden, adalah presiden Ronald Reagan. Sekolah hanya lulus S-1. Itu pun bukan dari universitas yang hebat-hebat amat. Dia sendiri hanya pemain film ‘kelas B’ — bukan aktor yang top. Masuk ke Oval Office untuk menjalankan tugas kepresidenan pas jam 8 pagi. Tepat jam 5 sore, dia ‘pulang’ ke Nancy, dan — kecuali ada acara resmi — tidak mau diganggu dengan aneka urusan kenegaraan. An 8-to-5 presidency.
Tetapi, semua menteri dan penasehat Ronald Reagan adalah profesional dalam bidangnya. Dan mereka mampu merunut prioritas yang optimum, memberikan advis terbaik, fasih dalam berkomunikasi, bersih ketika mengemban jabatan, serta piawai dalam mengimplementasi.

(3) A Leader should be Honest and Brave:
Kita sudah sering melihat banyak pejabat tinggi yang pintar, berpendidikan, dan mengaku paling bermoral. Tetapi dalam kenyataannya mereka mengecewakan rakyat, karena ternyata kotor — yakni, sarat dengan sifat tega (terhadap lawan politik), khianat (pada kawan politik), serta dusta/hipokritikal (ke konstituen), bahkan sampai berani korupsi sekalipun.
Saya rasa mayoritas rakyat sudah lama tahu sesuatu yang selama ini herannya banyak disangkal oleh komentator politik yang terdidik: Presiden tidak perlu pintar-pintar amat, yang penting jujur, berdedikasi, serta memiliki integritas (yang saya definisikan sebagai konsistensi dalam karsa, kata, dan karya). Selain jujur (tidak korupsi dan tidak hipokritikal), Ronald Reagan justru memiliki keberanian — di saat para bawahannya tak memilikinya — untuk mem-PHK hampir 90 persen dari seluruh 13,000 air traffic controllers sipil Amerika yang mangkir masuk kerja. Anak buah Reagan juga ragu untuk meningkatkan anggaran belanja militer, karena eskalasi belanja tersebut justru akan melanggar janji kampanye Reagan sendiri untuk memangkas defisit APBN Amerika. Namun, Reagan bersikeras. Atau mengancam akan segera membangun SDI (Strategic Defense Initiative) yang terkenal sebagai Star Wars, padahal pembantu-pembantu Reagan belum ‘pede’ karena kemampuan AS masih jauh untuk bisa betul-betul mewujudkannya.
Hasilnya? Russia tak sanggup diajak ‘adu kencing jauh’ terus-menerus, dan akhirnya Perang Dingin berakhir, Uni Soviet bubar — tanpa satupun senapan yang perlu menyalak. A president that is a good manager is good in analysis, setting priorities, communication, and implementation. A president that is a good leader is one who knows how to use courage (and fear) to inspire his people.
Kesimpulan:
Bangsa kita perlu pemimpin yang jujur dan berani, bukan yang pintar tetapi penakut. Bangsa kita perlu pemimpin yang dikelilingi profesional yang jujur, berintegritas, serta tidak merasa selalu benar sendiri, namun efektif dalam berimplementasi.
AYO KERJA!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar