Ads 468x60px

AJARAN PAUS FRANSISKUS = "SESAT"? (3)


HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH
DIA.LO.GUE: "CORRECTIO FILIALIS"
("Filial Correction")
AJARAN PAUS FRANSISKUS = "SESAT"?
Ecclesia semper reformanda - Gereja harus "selalu diperbarui, in permanent genesis."
(PART III)
Awal minggu di medio bulan September 2017 ini, 62 klerus dan awam mengeluarkan sebuah "Filial Correction" kepada Paus Fransiskus, atas apa yang mereka sebut sebagai "propaganda sesat/salah".
Filial Correction yang ditujukan kepada seorang Paus adalah sangat jarang terjadi, bahkan terakhir kali pernah terjadi adalah pada tahun 1333 (684 tahun yang lalu), yaitu terhadap Paus Yohanes XXII.
Sebuah situs web telah dibuat untuk hal ini: www.correctiofilialis.org ; yang memberikan informasi tentang penyebaran correctio filialis. Adapun koreksi yang diberikan kepada Paus Fransiskus ini adalah menyangkut Apostolic Exhortation nya , "Amoris Laetitia", di mana seolah-olah Paus Fransiskus "memberi kesan" bahwa orang Katolik yang bercerai dan menikah lagi, boleh menerima Komuni Kudus.
Inilah yang menyebabkan kebingungan dan polemik karena muncul berbagai perbedaan tafsir atas apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Bapa Suci.
Beberapa Dewan Konferensi Uskup yang lebih liberal, seperti di Jerman, Malta, Argentina, dan Belgia, menginterpretasikan Apostolic Exhortation ini sebagai : memperbolehkan mereka yang bercerai dan menikah lagi untuk menerima Komuni.
Sementara Dewan Konferensi Uskup yang lebih tradisional/konservatif, seperti di negara Polandia, menterjemahkannya sebagai "melanjutkan seperti tradisi lama." (tidak boleh terima Komuni)
Gereja Katolik sendiri tidak mengakui perceraian sipil atau pernikahan ulang (dengan orang lain) para pasangan yang menikah di dalam Gereja Katolik karena perkawinan dalam Gereja Katolik adalah tak terceraikan.
Perceraian/perpisahan/menikah lagi dengan orang lain; dalam pandangan Gereja adalah melakukan dosa perzinahan. Dosa zinah adalah dosa daging, karena itu dilarang menerima Komuni dalam keadaan demikian.
Menerima Komuni Kudus dalam keadaan berdosa berat adalah melakukan dosa lagi, yaitu dosa Sakrilegi terhadap Tubuh dan Darah Kristus. Hal inilah yang harus dihindari.
Hal inilah yang selalu diajarkan, akan terus diajarkan oleh Gereja. Tidak ada yang dapat termasuk seorang Paus, yang memiliki kuasa untuk mengubah apa yang telah ditetapkan Yesus sendiri.
Namun, nampaknya inilah yang bagai hendak dilakukan Paus Fransiskus, dan inilah sebabnya ia mendapat desakan dan pertanyaan resmi dari para Kardinal (Dubia), yang belum dijawabnya walau batas waktu 2 bulan yang diberikan telah berlalu, dan kini ia "diberi" semacam "Filial Correction", yang walaupun memang memunculkan kontroversi, namun adalah dibutuhkan demi kesatuan Gereja kita sendiri.
Filial Correction ini tidak dimaksudkan untuk menekan, apalagi sebagai perlawanan atau pemberontakan terhadap Paus. Sebaliknya, ini dimaksudkan untuk membela kepentingan Gereja yang lebih besar dan juga membela kepausan.
Yang dapat kita lakukan bersama adalah mendoakan Paus agar beliau segera memberi jawaban yang lebih jelas dan lugas kepada Dubia dan atas hal-hal yang disebut dalam Filia Correction tersebut sehingga kesimpang-siuran tidak terus berlanjut.
Bersama Bunda Maria dan Santo Fransiskus dan para kudus lainnya, kita mendoakan dengan penuh Harapan, Iman dan Kasih, agar Paus Fransiskus selalu "S3" - " Sehat Sukacita dan Sejahtera, dalam keadaan yang baik dan bijak sehingga dapat terus menjadi "Supreme Roman Pontif" dan "Vicar Kristus".
Lebih jelasnya, tercandra kritik yang didokumentasikan dengan seksama ini adalah semacam kelanjutan dari Dubia terhadap Amoris Laetitia (19 September 2016) yang dibuat oleh 4 Kardinal yakni:
Walter Brandmüller,
Raymond L. Burke,
Joachim Meisner,
Carlo Caffarra.
(Dua yang terakhir meninggal tahun ini, masing-masing pada tanggal 5 Juli dan 6 September.)
Para Kardinal dengan hormat meminta Paus Fransiskus untuk "mengklarifikasi" lima poin yang tidak ortodoks dalam Amoris Laetitia. Dubia tetap tidak terjawab dan kemudian diikuti oleh permintaan tatap muka dari keempat penulis (25 April 2017) tapi permintaan mereka inipun belum dikabulkan.
Pada tanggal 29 Juni 2016, 45 teolog menyerahkan kepada Kardinal Angelo Sodano, dekan Kolese Dewan Kardinal, sebuah studi kritis lainnya terhadap 19 point dalam Amoris Laetitia, tapi kritik ini juga belum dijawab.
Dalam daftar dari 62 penandatangan 'correctio filialis' terdapat nama beberapa orang yang telah menandatangani kritik dari 45 teolog pada tahun 2016, namun di antara nama-nama baru adalah Uskup Bernard Fellay, Pemimpin Umum SSPX, satu-satunya Uskup yang telah menandatangani dokumen sejauh ini, meskipun ─ seperti diterangkan dalam penyajian correctio filialis ─ daftar penandatangan masih tetap terbuka untuk dilanjutkan.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Ringkasan dari "Correctio Filialis"
Sebuah surat setebal 25 halaman yang ditandatangani oleh 40 imam Katolik dan cendekiawan awam dikirimkan ke Paus Fransiskus pada tanggal 11 Agustus.
Karena tidak ada jawaban yang diterima dari Bapa Suci, hal itu diumumkan hari ini, 24 September, Hari Raya Bunda Berbelas Kasih dan Bunda Maria dari Walsingham.
Surat tersebut, yang terbuka untuk penandatangan baru, sekarang memiliki nama 62 imam dan cendekiawan awam dari 20 negara, yang juga mewakili orang lainnya yang tidak memiliki kebebasan berbicara.
Surat ini memiliki nama Latin: 'Correctio filialis de haeresibus propagatori' (secara harafiah, 'Koreksi bakti-hormat tentang penyebaran ajaran sesat').
Isinya menyatakan bahwa Paus, melalui Seruan Apostoliknya "Amoris Laetitia", dan melalui kata, perbuatan, dan penghapusan lainnya, secara efektif menjunjung tinggi 7 posisi bidah dalam pernikahan, kehidupan moral, dan penerimaan sakramen, dan telah menyebabkan pendapat sesat ini menyebar di Gereja Katolik, dimana ajaran sesat ini diungkapkan oleh para penandatangan dalam bahasa Latin, bahasa resmi Gereja.
Surat koreksi ini memiliki 3 bagian utama.
Pada bagian pertama, para penandatangan menjelaskan mengapa, sebagai orang Katolik yang percaya dan mempraktekkan ajaran Katolik, mereka memiliki hak dan kewajiban untuk mengeluarkan koreksi semacam itu kepada Sri Paus. Hukum gereja sendiri mensyaratkan agar orang-orang yang kompeten tidak tinggal diam saat para gembala Gereja menyesatkan kawanan domba.
Dalam hal ini, tidak terjadi konflik dengan dogma Katolik tentang infalibilitas kepausan, karena Gereja mengajarkan bahwa seorang Paus harus memenuhi kriteria yang ketat sebelum ucapannya dapat dianggap tidak dapat salah.
Paus Fransiskus belum memenuhi kriteria ini. Dia belum menyatakan posisi sesat ini untuk menjadi ajaran definitif Gereja, atau menyatakan bahwa umat Katolik harus mempercayai mereka dengan keyakinan iman. Gereja mengajarkan bahwa tidak ada Paus yang dapat mengklaim bahwa Tuhan telah mengungkapkan beberapa kebenaran baru kepadanya, yang mengharuskan umat Katolik mempercayainya.
Bagian kedua dari surat itu yang terpenting, karena berisi 'Koreksi' dengan sebenarnya. Disini dicantumkan bagian-bagian Amoris Laetitia, dimana posisi bidah disusupkan atau didorong, dan kemudian memuat kata-kata, perbuatan, dan kelalaian Paus Fransiskus yang membuatnya jelas tanpa keraguan bahwa dia ingin umat Katolik menafsirkan ayat-ayat ini dengan cara yang demikian, yang sesungguhnya sesat.
Khususnya, Paus secara langsung maupun tidak langsung menyetujui keyakinan bahwa ketaatan kepada Hukum Allah tidaklah mungkin atau tidak dikehendaki, dan bahwa Gereja kadang-kadang harus menerima perzinahan sebagai hal selaras bagi orang yang mempraktikan ajaran Katolik.
Bagian terakhir, yang disebut 'Penjelasan', membahas dua penyebab krisis unik ini. Salah satu penyebabnya adalah 'Modernisme'.
Secara teologis, Modernisme adalah keyakinan bahwa Tuhan belum menyampaikan kebenaran yang pasti kepada Gereja, dimana Gereja harus terus menerus mengajarkannya dalam arti yang persis sama sampai akhir zaman.
Kaum modernis berpendapat bahwa Tuhan hanya berkomunikasi dengan umat manusia, hanyalah sebagai pengalaman yang dapat dipikirkan oleh manusia, sehingga membuat berbagai pernyataan tentang Tuhan, kehidupan dan agama; tapi pernyataan semacam itu hanya sementara, bukanlah dogma yang tetap.
Modernisme dikutuk oleh Paus St. Pius X pada awal abad ke-20, namun dihidupkan kembali pada pertengahan abad ini. Kebingungan besar dan terus berlanjut yang ditimbulkan dalam Gereja Katolik oleh Modernisme mewajibkan para penandatangan untuk menggambarkan arti sebenarnya dari 'iman', 'bidah', 'wahyu', dan 'ajaran Gereja'.
Penyebab kedua dari krisis ini adalah pengaruh nyata dari gagasan Martin Luther terhadap Paus Fransiskus. Surat tersebut menunjukkan bagaimana Luther, pendiri Protestantisme, memiliki gagasan tentang pernikahan, perceraian, pengampunan, dan hukum ilahi yang sesuai dengan apa yang Paus promosikan lewat kata, perbuatan dan penghapusan. Tercatat juga pujian eksplisit dan belum pernah terjadi sebelumnya yang diberikan oleh Paus Fransiskus kepada sang bidah Jerman.
Para penandatangan tidak berani menilai tingkat kesadaran Paus Fransiskus saat menyebarkan 7 ajaran sesat yang mereka daftarkan. Tapi mereka dengan hormat bersikeras agar Paus mengutuk ajaran sesat ini, yang secara langsung atau tidak langsung didukungnya.
Penanda tangan mengakui kesetiaan mereka kepada Gereja Roma yang kudus, meyakinkan Paus akan doa-doa mereka, dan meminta berkat apostoliknya.
Beberapa daftar para penandatangan
Dr. Gerard J. M. van den Aardweg
European editor, Empirical Journal of Same-Sex Sexual Behavior
Prof. Jean Barbey
Historian and Jurist, former Professor at the University of Maine
Fr. Claude Barthe
Diocesan Priest
Philip M. Beattie BA (Leeds), MBA(Glasgow), MSc (Warwick), Dip.Stats (Dublin)
Associate Lecturer, University of Malta (Malta)
Fr. Jehan de Belleville
Religious
Dr. Philip Blosser
Professor of Philosophy, Sacred Heart Major Seminary, Archdiocese of Detroit
Fr. Robert Brucciani
District superior of the SSPX in Great Britain
Prof. Mario Caponnetto
University Professor, Mar de la Plata (Argentina)
Mr. Robert F. Cassidy STL
Fr. Isio Cecchini
Parish Priest in Tuscany
Salvatore J. Ciresi, M.A.
Director of the St. Jerome Biblical Guild, Lecturer at the Notre Dame Graduate School of Christendom College
Fr. Linus F Clovis, Ph.D., JCL, M.Sc., STB, Dip. Ed,
Director of the Secretariat for Family and Life in the Archdiocese of Castries
Fr. Paul Cocard
Religious
Fr. Thomas Crean OP STD
Prof. Matteo D'Amico
Professor of History and Philosophy, Senior High School of Ancona
Dr. Chiara Dolce PhD
Research doctor in Moral Philosophy at the University of Cagliari
Deacon Nick Donnelly MA
Petr Dvorak
Head of Department for the Study of Ancient and Medieval Thought at the Institute of Philosophy, Czech Academy of Sciences, Prague; Professor of philosophy at Saints Cyril and Methodius Theological Faculty, Palacky University, Olomouc, Czech Republic
H.E. Bp. Bernard Fellay
Superior General of the SSPX
Christopher Ferrara Esq.
Founding President of the American Catholic Lawyers’ Association
Prof. Michele Gaslin
Professor of Public Law at the University of Udine
Prof. Corrado Gnerre
Professor at the Istituto Superiore di Scienze Religiose of Benevento, Pontifical Theological University of Southern Italy
Dr. Ettore Gotti Tedeschi
Former President of the Institute for Works of Religion (IOR), Professor of Ethics at the Catholic University of the Sacred Heart, Milan
Dr. Maria Guarini STB
Pontificia Università Seraphicum, Rome; editor of the website Chiesa e postconcilio
Prof. Robert Hickson PhD
Retired Professor of Literature and of Strategic-Cultural Studies
Fr. John Hunwicke
Former Senior Research Fellow, Pusey House, Oxford
Fr. Jozef Hutta
Diocesan Priest
Prof. Isebaert Lambert
Full Professor at the Catholic University of Louvain, and at the Flemish Katholieke Universiteit Leuven
Dr. John Lamont STL DPhil (Oxon.)
Fr. Serafino M. Lanzetta STD
Lecturer in Dogmatic Theology, Theological Faculty of Lugano, Switzerland; Priest in charge of St Mary’s, Gosport, in the diocese of Portsmouth
Prof. Massimo de Leonardis
Professor and Director of the Department of Political Sciences at the Catholic University of the Sacred Heart in Milan
Msgr. Prof. Antonio Livi
Academic of the Holy See
Dean emeritus of the Pontifical Lateran University
Vice-rector of the church of Sant'Andrea del Vignola, Rome
Dr. Carlo Manetti
Professor in Private Universities in Italy
Prof. Pietro De Marco
Former Professor at the University of Florence
Prof. Roberto de Mattei
Former Professor of the History of Christianity, European University of Rome, former Vice President of the National Research Council (CNR)
Fr. Cor Mennen
Lecturer in Canon Law at the Major Seminary of the Diocese of ‘s-Hertogenbosch (Netherlands). Canon of the cathedral chapter of the diocese of ‘s-Hertogenbosch
Prof. Stéphane Mercier
Lecturer in Philosophy at the Catholic University of Louvain
Don Alfredo Morselli STL
Parish priest of the archdiocese of Bologna
Martin Mosebach
Writer and essayist
Dr. Claude E. Newbury M.B., B.Ch., D.T.M&H., D.O.H., M.F.G.P., D.C.H., D.P.H., D.A., M. Med;
Former Director of Human Life International in Africa south of the Sahara; former Member of the Human Services Commission of the Catholic Bishops of South Africa
Prof. Lukas Novak
Faculty of Arts and Philosophy, Charles University, Prague
Fr. Guy Pagès
Diocesan Priest
Prof. Paolo Pasqualucci
Professor of Philosophy (retired), University of Perugia
Prof. Claudio Pierantoni
Professor of Medieval Philosophy in the Philosophy Faculty of the University of Chile; Former Professor of Church History and Patrology at the Faculty of Theology of the Pontificia Universidad Católica de Chile
Fr. Anthony Pillari, J.C.L., M.C.L
Prof. Enrico Maria Radaelli
Philosopher, editor of the works of Romano Amerio
Dr. John Rao
Associate Professor of History, St. John’s University, NYC; Chairman, Roman Forum
Dr. Carlo Regazzoni
Licentiate in Philosophy at University of Freiburg
Dr. Giuseppe Reguzzoni
External Researcher at the Catholic University of Milan and former editorial assistant of Communio, International Catholic Review (Italian edition)
Prof. Arkadiusz Robaczewski
Former Professor at the Catholic University of Lublin
Fr. Settimio M. Sancioni STD
Licence in Biblical Science
Prof. Andrea Sandri
Research Associate, Catholic University of the Sacred Heart in Milan
Dr. Joseph Shaw
Tutor in Moral philosophy, St Benet’s Hall, University of Oxford
Fr. Paolo M. Siano HED (Historiae Ecclesiasticae Doctor)
Dr. Cristina Siccardi
Historian of the Church
Dr. Anna Silvas
Adjunct research fellow, University of New England, NSW, Australia
Prof. Dr Thomas Stark
Phil.-Theol. Hochschule Benedikt XVI, Heiligenkreuz
Rev. Glen Tattersall
Parish Priest, Parish of Bl. John Henry Newman, archdiocese of Melbourne; Rector, St Aloysius’ Church
Prof. Giovanni Turco
Associate Professor of Philosophy of Public Law at the University of Udine, Member Corrispondent of the Pontificia Accademia San Tommaso d'Aquino
Prof. Piero Vassallo
Former editor of Cardinal Siri’s theological review Renovatio
Prof. Arnaldo Vidigal Xavier da Silveira
Former Professor at the Pontifical University of São Paulo, Brazil
Msgr. José Luiz Villac
Former Rector of the Seminary of Jacarezinho
=====
Excerpt of the Filial Correction issued to His Holiness Pope Francis:
Most Holy Father,
With profound grief, but moved by fidelity to our Lord Jesus Christ, by love for the Church and for the papacy, and by filial devotion toward yourself, we are compelled to address a correction to Your Holiness on account of the propagation of heresies effected by the apostolic exhortation Amoris laetitia
and by other words, deeds and omissions of Your Holiness.
We are permitted to issue this correction by natural law, by the law of Christ, and by the law of the Church, which three things Your Holiness has been appointed by divine providence to guard.
By natural law:
for as subjects have by nature a duty to obey their superiors in all lawful things, so they have a right to be governed according to law, and therefore to insist, where need be, that their superiors so govern.
By the law of Christ:
for His Spirit inspired the apostle Paul to rebuke Peter in public when the latter did not act according to the truth of the gospel (Gal. 2). St Thomas Aquinas notes that this public rebuke from a subject to a superior was licit on account of the imminent danger of scandal concerning the faith (Summa Theologiae 2a 2ae, 33, 4 ad 2), and ‘the gloss of St Augustine’ adds that on this occasion, “Peter gave an example to superiors, that if at any time they should happen to stray from the straight path, they should not disdain to be reproved by their subjects” (ibid.).
The law of the Church also constrains us, since it states that “Christ’s faithful . . . have the right, indeed at times the duty, in keeping with their knowledge, competence, and position, to manifest to the sacred pastors their views on matters which concern the good of the Church."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar