Ads 468x60px

In Memoriam, Pater Beek SJ



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
In Memoriam
Pater Beek
Master of "KHASEBUL"
(Jakarta, 17 September 1983)
Only the fight that counts:
Hanya perjuanganlah yg menentukan....
Lakukanlah sesuatu yang baik karena itu baik. Titik! Selebihnya bukan urusan kita!
Larut tetapi tidak hanyut..
Sedikit tetapi menggigit...
Terlibat tanpa terlipat..
Bukan menjadi yang paling banyak (pars maior) tetapi menjadi yang paling baik (pars sanior)
Pater Josephus ‘Joop’ Gerardus Beek, SJ nama lengkapnya. Pater Beek panggilannya. Ia adalah figur yang kadang di-cap kontroversial, tidak saja didalam kongregasi Serikat Yesus tapi di dalam Gereja Katolik Indonesia, dan juga dalam sejarah politik negeri ini.
Pater Beek ini juga dikenal memiliki pusat pengkaderan yang dikenal dengan nama Khalwat Sebulan (Khasebul). Pada masa Orde Baru, Gereja Katolik memang pernah dipandang beberapa ormas sebagai organisasi yang kerap mengadakan "kaderisasi gelap" bagi para mahasiswa dan pemudanya di Klender.
Khasebul pun pernah disalah­pahami sebagai indoktrinasi paham katolisisme terhadap para mahasiswa agar mereka dapat menjadi alat poli­tis yang kuat bagi negara. Padahal, kaderisasi yang dirintis oleh Pater Beek itu, sejak awal lebih dirancang sebagai cara strategis mempersiapkan para pemuda Katolik untuk cerdas dan lugas mengha­dapi pengaruh komunisme yang telah meluas ke pelbagai kota di Indonesia.
Kelak, kader-kader hasil didikan Khasebul ini banyak yang menjadi tokoh dan operator-operator politik di bawah kendali asisten-asisten pribadi Soeharto, khususnya Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Mereka konon memiliki pengaruh yang amat besar pada masa-masa awal Orde Baru. Praktis merekalah yang menciptakan rancang bangun politik Orde Baru. Selain itu, mereka juga terlibat dalam dua peristiwa besar yaitu penentuan pendapat rakyat atau Pepera 1969 di Papua (lebih dikenal dengan nama Irian Jaya pada jaman Suharto) dan aneksasi Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia 1975.
Beek jelas memiliki jaringan kader yang luas di Jawa dan bahkan seluruh Indonesia. Para kader ini memberi laporan mingguan kepada Beek, yang berisi informasi dan data intelijen tentang apa yang terjadi di daerah masing-masing kader. Mereka disuruh melaporkan segala kegiatan organisasi politik dan keagamaan lokal, badan-badan pemerintahan, angkatan bersenjata dan kepolisian.
Tercandra, semua informasi ini diteruskan kepada Ali Moertopo lewat Jusuf Wanandi dan kepada Soedjono Heomardani lewat Sofjan Wanandi (Liem Bian Koen). Mekanisme ini mengokohkan kekuasaan Ali Moertopo atas militer dan komunitas intelijen Indonesia.
Dalam pandangan seorang jurnalis Australia, Mount, Pater Beek adalah seorang yang sangat anti komunis sekaligus sangat konservatif. Tujuannya melatih kader-kader kaum muda Katolik tidak lain daripada melindungi komunitas Katolik dan Kristen yang kecil. Pada awalnya dari ancaman Partai Komunis dan kemudian dari ancaman golongan Islam.
Namun, sekalipun menjalani kehidupan yang sangat asketik sebagai Yesuit, Beek juga berpikiran liberal sebagaimana umumnya Yesuit yang berasal dari Belanda. Dengan sedikit menggoda, Mount menulis bahwa Beek menyukai minuman keras terutama gin Bols Genever, yang menurut Mount barangkali pada akhirnya ikut membunuhnya.
Lebih lanjut, menurut Pater (Theodoor Willem) Geldorp, SJ atau yang lebih dikenal dengan nama Indonesianya, Dick Hartoko, SJ, Beek adalah seorang pemikir politik orisinal dan organisator yang baik, yang ‘menyelamatkan negeri ini lebih dari sekali.’ Sedangkan Pater Thomas Huber SJ memuji kecakapan kader-kader Beek, khususnya di Irian Barat. Menurut Theofilus Bella, Pater Beek adalah juga seorang Pater Jesuit yang sangat berapi-api ketika berkotbah dan sangat kuatir akan bahaya partai komunis yang saat itu sedang hebat hebat nya di Indonesia khususnya dipulau Jawa.
Jelasnya, Pater Beek berperan besar dalam upaya membendung bahaya komunisme di Indonesia saat itu. Banyak pemuda khususnya dari PMKRI "dilatih" Pater Beek untuk membendung bahaya PKI . Diantara pemuda itu kita sebut beberapa nama seperti Harry Tjan Silalahi, Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, Gerald Thung, Sudjati dan Sudrajat Djiwandono dan beberapa tokoh awam lainnya.
Beek juga pernah mengorganisir kaum buruh dan tani untuk menyaingi serikat buruh tani milik PKI (SOBSI dan BTI). Bersama dengan kawan seangkatannya di Yesuit, John (Johannes Baptista) Dijkstra, SJ, Beek pernah mendirikan Gerakan Pancasila yang melahirkan Ikatan Buruh Pancasila, Ikatan Petani Pancasila, Ikatan Para-Medis Pancasila, dan Ikatan Usahawan Pancasila. Untuk waktu yang cukup lama, Beek menjadi moderator dari Ikatan Buruh Pancasila. Namun Beek, akhirnya lebih memusatkan perhatian pada kaderisasi.
Pater Beek sendiri terlahir di Amsterdam, 12 Maret 1917 – meninggal di Jakarta, 17 September 1983 pada umur 66 tahun) adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Ia lahir ketika Perang Dunia I meletus. Sejak kanak-kanak, ia dididik di kolese yang dikelola oleh imam-imam Yesuit. Setelah masuk ke Serikat Yesus, ia menjalani masa novisiat tahun pertama di Mariendaal, Grave, pada 7 September 1935 dan Novisiat tahun kedua, 1937, dijalani di Girisonta, Indonesia.
Ketika menjadi novis jesuit, semangat mudanya dikobarkan dengan gairah untuk pergi ke tanah misi, Hindia Belanda (Indonesia), yang sekaligus secara politis adalah tanah jajahan di bawah Pemerintah Kerajaan Belanda, negerinya. Pater Beek menjalani masa skolastikat filsafatnya di Kolese Ignatius, Yogyakarta, 1939-1941 dan studi teologinya di Maastricht, 1949-1950.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Pater Beek pernah menghuni kamp interniran di Kesilir, Banyuwangi (1943), kamp Banyubiru, Semarang (1944), kamp Cikudapateuh, Bandung (1945), dan kamp Pundong, Bantul (1946).
Meskipun ia adalah seorang rohaniwan dan berkewarganegaraan asing, Pater Beek lama bertugas di Indonesia. Ia turut ambil bagian dalam pembentukan lembaga CSIS (Center for Strategic and International Studies) pada 1 September 1971. Ketika politik Indonesia dikuasai komunis, ia getol menggalang aliansi dengan TNI dan melahirkan struktur "SekBer", Sekretaris Bersama Golkar.
Lebih lanjut, Pater Beek pernah menulis surat terbuka kepada Presiden Soekarno. Surat itu penuh kritik tajam terhadap kebijakan Presiden Soekarno yang dinilai memberi ruang besar bagi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan menggunakan nama samaran "Dadap Waru", dalam surat bertanggal 5 November 1965 itu, ia mendorong agar Bung Karno bersikap tegas terhadap PKI.
Selain pernah berkarya sebagai Kepala Asrama Realino, Pater Beek juga pernah berkarya dan turut mengawali Biro Dokumentasi. Biro Dokumentasi adalah sebuah biro yang didirikan oleh Serikat Yesus Provinsi Indonesia pada tahun 1961 semasa Pater Georgius Kester menjadi Provinsial. Biro itu menyediakan bahan-bahan studi dan analisa sosial berdasarkan tolak ukur ajaran dan moralitas Katolik agar dapat dipergunakan bagi para aktivis.
Dalam kegiatannya, Biro Dokumentasi itu menyiarkan dokumen mengenai kebijakan pemerintah dan evaluasi atas berbagai kejadian penting di Indonesia. Apa yang dilakukan Biro Dokumentasi itu kemudian menjadi asupan bagi masyarakat, khususnya umat Katolik di Indonesia, untuk menghadapi perkembangan sosial, politik masyarakat, serta bersikap kritis terhadap pemerintah.
Analisis yang dihasilkan Biro Dokumentasi kemudian diedarkan kepada aktivis yang terlibat dalam "Front Pancasila" dan "Sekber Golkar". Biro itu, antara lain, menghasilkan kajian tentang sosialisme yang kemudian mempertemukannya dengan intepretasi gagasan sosialisme yang disodorkan PKI.
Konon, Serikat Yesus kemudian memindahkan Pater Beek dari Indonesia setelah diminta oleh Kabakin waktu itu Letjen Soetopo Yuwono.
Pater Beek kembali lagi ke Indonesia pada 1974. Ia wafat pada 17 September 1983 di RS Saint Carolus, Jakarta dalam usia 66 tahun. Ia dimakamkan di Girisonta, kompleks pemakaman dan peristirahatan para romo, frater dan bruder Serikat Yesus di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
YES KADER
NO KEDER....
A.
Pater Beek: Kiprah Awal.
"Keyakinan itu tak pernah setengah-setengah. Keyakinan harus panas atau dingin, tidak pernah hangat-hangat tahi ayam. Keyakinan itu rela mengambil risiko, termasuk jika suatu keputusan yang diambil ternyata malahan dianggap salah."
Josephus Gerardus Beek lahir di Amsterdam pada tahun 1917. Pada usia 18 tahun, dia memasuki ordo Serikat Yesus sebagai novis (calon imam). Dua tahun kemudian dia dikirim ke tanah misi di Jawa. Namun sayang, pada tahun 1942 kekuasaan pemerintah kolonial Belanda runtuh akibat pendudukan Jepang. Beek, sebagaimana orang Belanda lainnya, ditahan di kamp interniran. Dia baru dibebaskan empat tahun kemudian.
Sebagai bagian dari formasi imamatnya, Beek menempuh studi teologinya di Maastricth, Belanda pada tahun 1947 hingga 1950. Dia ditahbiskan menjadi imam Katolik pada Desember 1948. Setelah menerima licentiat dalam studi teologinya, Beek pergi ke Inggris untuk menjalani masa Tersiat. Ini adalah tahap terakhir dari proses yang harus dilalui sebelum seseorang menjadi anggota penuh dari Serikat Yesus.
Dia kembali ke Indonesia pada tahun 1952 dan bekerja sebagai pamong di Seminari Kanisius di Jl. Code 2, Yogyakarta (kini Kolose St. Ignatius). Belum setahun bekerja di Seminari, Beek dipindah dan diberi tugas untuk membangun sebuah asrama untuk mahasiswa.
Itulah Asrama Mahasiswa Realino. Beek membangun asrama ini tidak saja secara fisik namun juga meletakkan ide dasar pengembangannya.
Asrama ini dibangun secara fisik sebagai bangunan asrama modern pada masanya – dengan dapur, ruang makan, ruang studi, ruang rekreasi, kamar tidur, dan lapangan olahraga untuk lebih dari 250 mahasiswa.
Ide dasar dari Beek adalah bahwa asrama ini hanya untuk mahasiswa, terlebih dari Universitas Gadjah Mada yang memiliki ‘bakat dan kemampuan intelektual tinggi.’
Yang menarik adalah bahwa penghuni asrama ini tidak dibatasi untuk mereka yang Katolik saja namun terbuka bagi mahasiswa dari agama-agama lain. Para mahasiswa juga dibekali ketrampilan berorganisasi, dilatih berdiskusi, dan berbicara di depan umum (public speaking).
Ahmad Wahib, seorang intelektual pembaharu pemikiran Islam, pernah tinggal di asrama ini antara tahun 1961-1964. Saat itu, Beek sudah tidak lagi mengasuh asrama ini dan sudah pindah ke Jakarta. Tahun 1960an itu adalah tahun-tahun kejayaan asrama ini.
Namun, dalam perkembangannya kemudian, semakin sedikit mahasiswa dari agama lain (khususnya yang Muslim) yang mau tinggal di Asrama Realino. Demikian pula kekhususan untuk mahasiswa Universitas Gadjah Mada juga tidak dapat dipertahankan. Sejak tahun 1980an, asrama ini dihuni mayoritas mahasiswa Katolik dan kualitasnya pun merosot.
Tahun 1991, asrama mahasiswa ini ditutup untuk selamanya dan gedung-gedungnya dimanfaatkan untuk gedung kuliah Universitas Sanata Dharma dan sebagian kecil untuk sebuah lembaga riset, Lembaga Studi Realino.
Selain mengasuh Realino, Beek juga menjadi moderator PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Pada saat itu, PMKRI masih berupa perserikatan dari empat cabang yang ada di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Ketua organisasi ini dijabat bergiliran oleh cabang-cabang. Beek sendiri menjadi moderator cabang Yogyakarta.
Pada tahun 1959, Beek dipindahkan ke Jakarta.
Di Jakarta, Beek diangkat menjadi Sekretaris Nasional Konggregasi Maria atau yang secara internasional lebih dikenal sebagai "Sodality of the Blessed Virgin Mary". Ini adalah sebuah perkumpulan yang didirikan oleh seorang Yesuit Belgia, Jean Leunis, SJ, pada tahun 1563. Perkumpulan ini mencoba untuk menghayati kehidupan spiritual yang diajarkan oleh pendiri ordo Serikat Yesus, St. Ignatius dari Loyola. Anggotanya sebagian besar adalah orang-orang awam.
Di tangan Beek, Konggregasi Maria berubah dari sebuah perkumpulan spiritual menjadi lebih ‘intelektual.’ Dia membentuk Konggregasi Maria untuk para sarjana, mahasiswa, dan mereka yang sudah bekerja namun bukan sarjana. Kelompok ketiga ini disebutnya sebagai kelompok Pemuda Karya.
Adapun Konggregasi Maria untuk para sarjana diketuai oleh Prof. Dr. Jusuf Pang Lay Kim atau J.E. Pangestu. Dia adalah seorang ekonom yang kemudian bergabung ke CSIS. Putri Dr. Panglaykim adalah Dr. Mari Elka Pangestu, yang menjadi staf ahli CSIS dan menteri di kabinet Presiden SBY.
Rekrutmen untuk anggota-anggota Konggregasi Maria dilakukan lewat paroki-paroki. Namun ada sumber penting lain untuk mendapatkan kader-kader yang lebih ‘intelek.’ Beek memiliki akses ke organisasi mahasiswa ekstra kampus seperti PMKRI dan Pemuda Katolik. Kedua organisasi ini merupakan lahan subur untuk merekrut anggota.
Dari sinilah sesungguhnya Beek mengembangkan metode-metode pelatihan. Sekalipun dibungkus dengan metode Latihan Rohani Ignatian yang khas Yesuit, tujuan dari pelatihan-pelatihan ini lebih untuk melatih militansi, membentuk kader, menyusun organisasi, dan membuat mekanisme ‘pelaporan situasi’ yang bekerja mirip seperti sistem intelijen dimana Beek mengendalikan para kader ini.
Ketika menjalankan Konggregasi Maria, Beek sudah menerapkan latihan-latihan yang disebutnya khalwat – yang artinya pengasingan diri atau ‘retreat’ — untuk para sarjana dan mahasiswa. Khalwat ini diberikan dalam waktu sebulan (cikal bakal "KHASEBUL"). Pesertanya datang dari seluruh Indonesia dan rekrutmen dilakukan lewat paroki-paroki.
Pada tahun 1961, Provinsi Serikat Yesus Indonesia membentuk sebuah biro yang dinamakan Biro Dokumentasi. Biro ini pada awalnya dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada para Uskup Katolik Indonesia tentang situasi sosial dan politik di Indonesia. Beek yang baru pulang dari Inggris diserahi tugas untuk memulai biro ini, disamping tugasnya sebagai moderator Konggregasi Maria.
Di tangan Beek, Biro Dokumentasi yang menjadi cikal bakal CSIS ini beroperasi lebih mirip seperti sebuah "think-tank" ketimbang sebuah lembaga yang memberikan informasi untuk para uskup. Y.B. Soedarmanta, yang menulis biografi Pater Beek, menyebutkan bahwa biro ini “menyediakan bahan-bahan studi dan analisis keadaan berdasarkan tolok ukur ajaran dan moralitas Katolik agar dapat dipergunakan bagi para aktivis yang terlibat dalam organisasi kemasyarakatan.”
Biro ini memiliki staf tiga orang sarjana yang bekerja penuh dan empat sarjana lain yang bekerja paruh waktu. Mereka bertugas mendokumentasi koran dan membuat ringkasan berita. Mereka juga melacak opini dan membuat semacam data-base para tokoh politik dan mengidentifikasi pandangan-pandangan politik mereka. Biro ini juga secara periodik mengeluarkan analisis-analisisnya yang tidak saja disebarkan di dalam negeri namun juga untuk konsumsi internasional dan berbahasa Inggris.
Biro Dokumentasi sengaja dibiarkan tumpang tindih dengan Konggregasi Maria dengan 3 alasan dasar, al:
Pertama-tama dimaksudkan untuk “mendapatkan sumber tenaga yang bersemangat apostolis, yang sadar akan kerasulan intelektual. “
Kedua, dengan menyamarkan biro ini di balik kegiatan religius maka akan “dihindarkan cap “terlalu politik” dengan ancaman bahwa usaha ini bisa dibredel atau diganyang dengan mudah atau dibubarkan begitu saja.
Ketiga, Biro Dokumentasi tidak bisa diasosiasikan langsung di bawah hirarki gereja karena ia hanya bernaung di bawah kelompok spiritual yang tidak ada hubungan apapun dengan hirarki gereja.
B.
Khasebul.
“Only the fight that counts:
Hanya perjuanganlah yg menentukan."
Pada akhir tahun 1966, Beek memulai program Khasebul (Khalwat Sebulan) yang pesertanya khusus mahasiwa. Ini meneruskan program kaderisasi yang sudah dia lakukan di dalam Konggregasi Maria. Hanya saja, pesertanya dibatasi pada mahasiswa saja. Tidak terlalu jelas apa alasan yang membuat Beek mengeluarkan program kaderisasi ini dari Konggregasi Maria.
Kemungkinan pertama adalah ‘persoalan’ antara Beek dengan ordonya sendiri dan beberapa imam. Biografi yang disusun oleh JB Soedarmanta memuat satu peristiwa yang terjadi pada tahun 1966. Disebutkan bahwa Beek "diperiksa" oleh Asisten Jendral Jesuit Pater Vincent O’Keefe yang sedang berkunjung ke Asia, termasuk Indonesia. Beek diperiksa berkaitan dengan metode pendidikan anak-anak muda yang dia lakukan. Agaknya, Jendral Jesuit di Roma mendengar bagaimana Konggregasi Maria tidak lagi semata-mata menjadi perkumpulan spiritual. Pada tahun 1967, Konggregasi Maria diubah menjadi "Christian Life Community" (CLC) dan fungsinya dikembalikan sebagai lembaga rohani.
Yang kedua adalah perkembangan politik. Kita tahu, kudeta gagal G30S dilancarkan setahun sebelumnya. Setelah itu, terbentuk aliansi antara mahasiswa – yang banyak dimotori dan dikendalikan oleh kader-kader Beek – dengan militer. Khasebul tampaknya adalah upaya untuk melatih mahasiswa yang diperlukan untuk menyokong Orde Baru yang baru saja berdiri itu.
Bagaimana Khasebul dijalankan? Soedjati Djiwandono, salah seorang anak didik Beek pernah menulis sekilas tentang metode pelatihan Beek.
Menurut Soedjati, program Khasebul dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan Kaderisasi Dasar (Kadas), yang berlangsung seminggu. Pesertanya sekitar 20 orang. Pembimbingnya adalah kader Khasebul senior. Terkadang kadas ini juga didampingi oleh Pastor Paroki atau bahkan Pater Beek sendiri. Materi Kadas adalah hal-hal yang mendasar seperti demokrasi, ormas, dan organisasi politik (orpol).
Dari peserta Kadas inilah direkrut peserta Khasebul. Umumnya, Khasebul diikuti oleh 30 orang yang dipilih dari berbagai daerah di Indonesia. Khasebul dilakukan empat kali dalam setahun.
Pendidikan di dalam Khasebul terkenal sangat keras. Para peserta dituntut berdisiplin sangat tinggi. Mereka diajarkan organisasi, berbicara di depan umum (public speaking), melakukan analisis dan menulis laporan. Mereka juga mendengarkan ceramah-ceramah yang disampaikan oleh elit-elit Katolik (bahkan yang sederajat menteri) dan intelektual seperti Frans Seda, IJ Kasimo dan beberapa tokoh militer.
Peserta juga harus berefleksi terhadap kelemahan-kelemahannya sendiri dan berusaha mencari jalan keluar dari kelemahan itu. Beek sendiri juga turun tangan dalam mengevaluasi kelemahan-kelemahan pribadi para peserta.
Adapun sanksi disiplin sangat keras. Setiap pelanggaran dikenakan hukuman dan sering hukuman itu adalah hukum fisik seperti ditempeleng. Tidak jarang pula peserta dipulangkan sebelum menyelesaikan pendidikan.
Salah satu kekhasannya: Baik mereka yang selesai menjalani kaderisasi maupun yang dikeluarkan di tengah jalan tidak akan pernah berbicara tentang Khasebul. Dkl: kader-kader hasil pendidikan Khasebul menjadi mirip seperti sebuah ‘secret society.’ Kultur kerahasiaan ini menjadi ciri khas kader-kader Beek. Mereka tidak pernah berbicara tentang kaderisasi atau proses kaderisasi.
Namun, di dalam Gereja Katolik, kadangkala orang mudah mengidentifikasi orang-orang Khasebul karena keaktifan mereka "ngompol" alias ngomong politik dan luasnya jaringan yang mereka miliki dengan elit-elit Katolik tingkat nasional.
Dengan metode ini, Beek percaya bahwa dia akan mampu membentuk karakter peserta Khasebul. Selain pembentukan kepribadian, dia juga ingin memperkuat mereka secara rohani.
JB Soedarmanta menguraikan dengan panjang lebar ‘kualitas’ seorang kader. Mereka diharapkan menjadi orang yang mengenal dirinya sendiri, pemberani, dan ‘rela memanggul salib’ – yang artinya sanggup menderita untuk orang lain.
Menurut Soedjati Djiwandono, Beek tidak menentukan masa depan kadernya. “Mereka akan diperlukan dalam segala bidang kehidupan di masyarakat. Yang penting adalah keyakinan imannya dan keahlian dalam bidangnya sendiri,” demikian tulis Djiwandono.
Beek sendiri aktif mengekspresikan pandangan-pandangan politiknya kepada khalayaknya sendiri. Menurut Soedjati Djiwandono, Beek aktif menggelar diskusi setiap Jumat malam di tempat yang berpindah-pindah, kadang di Keuskupan, di Gedung KWI, atau di gedung sekolah Katolik. Mereka yang hadir adalah pengajar Khasebul, para kader, para pastor, bahkan uskup Jakarta, Mgr. Djajaseputra, SJ, serta tokoh-tokoh politik Katolik.
Beek menyampaikan ‘evaluasinya’ terhadap masalah-masalah aktual. Hasilnya ditulis dalam selebaran satu lembar yang diberi nama “Evaluasi.” Selebaran ini disebar ke berbagai pihak, termasuk surat-surat kabar. Menurut Djiwandono, kadang evaluasi ini “isinya satu-dua kali dimuat di majalah Times. Penulisnya adalah Beek sendiri, tapi kadang juga ditulis oleh kader-kader seperti JB Oetoro, Haksoro, Kadjat Hartojo, Soedrajad Djiwandono, atau Soedjati Djiwandono sendiri. Tentu saja, Beek menjadi pemeriksa akhir dari naskah yang ditulis para kader ini. Beek juga mengeluarkan publikasi dalam bahasa Inggris Monthly Review, yang terbit sekali dalam sebulan
C.
Dominasi Ideologi Kanan.
"Di dunia ini jangan bikin monumen.
Nanti kamu akan kesulitan kalau mau mati."
Apakah yang menggerakkan Beek untuk membentuk kaderisasi ini? Tidak terlalu sulit untuk memahaminya. Sikap politik Beek sesungguhnya adalah sikap politik Gereja Katolik pada waktu itu dalam menanggapi pergolakan-pergolakan politik.
Ketika dihadapkan pada gelombang persaingan dua ideologi besar antara kapitalisme dan sosialisme, Gereja Katolik menolak keduanya. Gereja memilih untuk berpihak kepada buruh namun tidak dalam kerangka Marxisme.
Namun ideologi yang diturunkan dari ajaran sosial gereja ini juga bisa memantik gerakan sosial yang berbeda. Di Amerika Serikat muncul gerakan "Catholic Worker Movement" yang digerakkan oleh Dorothy Day, seorang aktivis sosial yang menganut Katolisisme pada usia dewasa setelah sebelumnya hidup secara bohemian.
Dorothy Day adalah penganjur distributisme, sebuah sistem ekonomi yang berasal dari ajaran sosial gereja, yang menolak dalil-dalil sosialisme dan kapitalisme. Prinsip-prinsip distributisme ini hampir mirip dengan yang diterapkan oleh "Catholic Social Studies Movement" yang didirikan oleh BA Santamaria pada tahun 1940an. Bedanya adalah Santamaria pada akhirnya bergerak ke kanan, sementara gerakan Dorothy Day di Amerika menjadi peletak dasar-dasar pasifisme, yang nantinya akan menjadi gerakan anti perang, khususnya anti Perang Vietnam tahun 1960-70an.
Tidak pelak, ajaran sosial gereja dengan segala ramifikasi ideologisnya itulah yang memengaruhi Pater Beek. Imam Yesuit ini tampaknya lebih dekat ke pemikiran Santamaria yang anti komunis itu. Ideologi yang cenderung ke kanan ini juga menjelaskan mengapa Beek sangat mudah menjalin persekutuan dengan tentara. Sekalipun tidak ada bukti bahwa Beek berhubungan langsung dengan tentara dan Soeharto, tidak dapat dipungkiri bahwa kader-kader terdekatnya bekerja untuk Soeharto atas restu dan berkat dari Beek.
Tidak terlalu sulit untuk mengerti bahwa ideologi politik kanan ini juga dekat dengan fundamentalisme keagamaan. Dalam hal ini, ketika dihadapkan pada pilihan apakah bekerja sama dengan tentara atau dengan golongan Islam, kader-kader Beek kemudian memilih yang pertama. Bis jadi, mereka mempopulerkan prinsip ‘minus malum’ atau ‘the lesser of two evils’ yakni sebuah sikap untuk mengambil yang paling kurang keburukannya ketika dihadapkan pada dua pilihan buruk.
Prinsip ini diterapkan ketika golongan Katolik dalam masa transisi setelah kejatuhan PKI dan pemerintahan Presiden Sukarno harus memilih dengan siapa harus beraliansi. Kader-kader Beek mendefinisikan situasi pilihan ketika itu adalah antara berpihak pada militer atau kepada golongan Islam. Pilihan jatuh pada aliansi dengan pihak militer.
D.
Menghancurkan PKI:
Satu Selimut Dengan Orde Baru
"Sapientiae et Virtus".
Kaderisasi oleh Beek dilakukan dalam waktu yang amat panjang. Dia sudah mulai bekerja di antara mahasiswa sejak 1952.
Beberapa kadernya yang paling dekat direkrutnya jauh sebelum dia mendirikan Khasebul. Harry Tjan, misalnya, mengenal Beek sejak tahun 1953 saat masih duduk di bangku SMA. Dia bertemu Beek dalam sebuah retret untuk anak-anak SMA De Britto, Yogyakarta. Harry Tjan kemudian aktif di PMKRI dan akhirnya menjadi Sekretaris Jendral Partai Katolik, partai yang dibubarkan pada tahun 1972.
Tidak banyak diketahui bagaimana cara bergerak kader-kader Beek yang dilatih lewat berbagai lembaga seperti Realino, PMKRI, Konggregasi Maria, dan Biro Dokumentasi. Namun ada sedikit keterangan dari buku memoar Yusuf Wanandi, Shades of Grey, yang terbit pada 2012. Sekalipun Wanandi bercerita terus terang tentang banyak hal yang tidak diketahui umum tentang masa-masa Orde Baru, buku memoar ini memiliki satu lubang besar. Itu adalah Pater Joop Beek, SJ. Wanandi tidak sekalipun menyebut nama Beek dalam bukunya ini. Sekalipun pastor Yesuit ini memiliki peranan amat penting dalam awal-awal perjalanan karir dan hidupnya.
Wanandi juga menyebut cikal-bakal CSIS (Center for Strategic and International Studies) tanpa terang-terangan menyebut nama Biro Dokumentasi yang dikelola oleh Beek. “Cikal bakal dari apa yang nantinya akan menjadi Center for Strategic and International Studies – yang menjadi fokus dari kehidupan profesional saya – adalah sebuah rumah kecil di Jalan Gunung Sahari dekat Pasar Baru.” Kita tahu bahwa ini adalah sebuah rumah di Jl. Gunung Sahari No. 88 yang dulu menjadi kantor Biro Dokumentasi.
Memoar Wanandi mengungkap beberapa aspek penting dari politik Katolik menjelang tahun 1965. Disamping secara intensif melakukan pengkaderan, Biro Dokumentasi juga melakukan analisis terhadap situasi.
Wanandi menulis bahwa para intelektual dan mahasiswa Katolik secara serius mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi seandainya dalam waktu lima tahun PKI berkuasa, “Dan, kami sebagai orang Katolik tahu bahwa kamilah yang pertama-tama harus menghadapi regu tembak (first up against the wall). Kami bisa mengelak dari Sukarno karena dia perlu minoritas seperti kami. Kami membuka kesempatan bagi dia untuk menunjukkan bahwa pemerintahannya bukanlah pemerintahan komunis. Namun ini juga alasannya PKI menjadi paling membenci kami.”
Tidak banyak orang yang tahu bahwa kelompok Katolik ini sudah mempersiapkan segalanya untuk mengantisipasi kekuasaan PKI. Wanandi menulis bahwa generasi muda Katolik sangat bersemangat. Mereka juga bersiap untuk bergerak di bawah tanah jika keadaan menuntut. Mereka memiliki antara 2000 hingga 3000 orang kader politik yang terlatih. Kader-kader ini dilengkapi dengan mesin-mesin ketik, kertas, dan mesin stensil untuk mencetak selebaran. Mereka juga sudah menyiapkan tempat-tempat persembunyian jika keadaan membutuhkan.
Apapun yang terjadi, yang jelas Beek dan Biro Dokumentasinya memiliki database yang sangat bagus tentang elit Indonesia pada saat itu. Seperti yang telah disebutkan di atas, mereka dengan sangat rajin mencatat nama-nama serta pandangan politik para elit di Jakarta. Tidak dapat disangkal bahwa Beek dan Biro Dokumentasinya adalah kelompok yang paling tahu (well-informed) tentang PKI.
Dari sisi organisasi, ketika kudeta G30S gagal, kader-kader Beek segera mengisi posisi-posisi penting dalam gerakan oposisi terhadap Soekarno. Kelompok ini yang paling siap dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain. Sehingga tidak heran jika kader-kader Beek termasuk yang pertama dari kalangan sipil yang bergabung dengan Soeharto dan militer.
E.
Antara Kader dan ‘Apparatchik’ Rezim Orde Baru
“Zachte heelmeesters maken stinkende wonden - Cara pengobatan yang lemah lembut membuat borok makin menyengat baunya."
Kader-kader Pater Beek memegang peranan menentukan dalam proses kudeta merayap oleh Soeharto untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno.
Tanggal 2 Oktober, hanya sehari setelah usaha kudeta ini digagalkan, Harry Tjan bersama aktivis-aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sudah membentuk Komite Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP-Gestapu).
Organisasi ini mendapat dukungan penuh dari Soeharto dan militer yang berpihak kepadanya. Pada akhir bulan Oktober 1965, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) terbentuk. Ketuanya adalah Cosmas Batubara, yang adalah juga Ketua Presidium PMKRI dan kader Beek.
Dengan tiba-tiba golongan Katolik, sebuah minoritas yang amat kecil dalam masyarakat Indonesia, memiliki pengaruh yang amat besar. Pengaruh itu disalurkan lewat pembantu-pembantu terdekat Soeharto, khususnya Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Mereka adalah orang-orang kepercayaan Soeharto dan sudah mendampingi dia sejak masih menjabat Panglima Kodam Diponegoro di Jawa Tengah.
Kita tidak tahu sejak kapan kader-kader Beek mengenal salah satu dari kedua orang ini atau berhubungan dengan Soeharto secara langsung. Yang jelas kader-kader Beek, khususnya Harry Tjan, Jusuf Wanandi dan Sofjan Wanandi memiliki akses yang sangat besar terhadap Soeharto lewat Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani.
Ali Moertopo adalah orang intelijen. Dia dikenal memiliki jaringan intelijennya sendiri yang disebut Opsus (Operasi Khusus). Jaringan intelijen ini berada di luar struktur dinas intelijen negara. Opsus memiliki akses langsung ke Soeharto dan dioperasikan seperti intelijen pribadinya.
Setelah ‘kemenangan’ terhadap PKI, tentu kader-kader yang jumlahnya ribuan ini harus melanjutkan hidup secara normal. Mereka membutuhkan pekerjaan. Banyak dari mereka yang masuk ke pemerintahan atau ke lembaga-lembaga yang baru dibentuk. Kader-kader Beek banyak mengisi posisi di dalam Golkar, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kader-kader ini juga banyak mengisi Bapilu (Badan Pemenangan Pemilu) Golkar yang sangat berperan dalam ‘membuldozer’ partai-partai politik pada Pemilu tahun 1971 dan memenangkan Golkar.
Tidak dapat dipungkiri, kader-kader Beek sukses menciptakan cetak biru (blue-print) sistem politik Orde Baru. Mereka berada di balik penciptaan Golkar, penyederhanaan sistem kepartaian, dan memenangkan Golkar dengan segala cara pada Pemilu tahun 1971. Dalam hal ini, mereka bekerjasama dengan erat dengan militer. Semua ini memberikan landasan yang kokoh untuk Orde Baru.
Ironisnya, kader-kader Beek jugalah yang mematikan Partai Katolik, yang dibubarkan pada bulan Desember 1972. Padahal Harry Tjan, salah seorang sekondan terdekat Beek, adalah Sekjen partai ini. Argumen yang dipakai adalah golongan Katolik harus masuk ke kekuatan politik dimana mereka bisa berperan (baca: berkuasa).
Beek dan kader-kadernya seringkali mengutip perumpamaan sebagai ‘garam.’ Orang Katolik harus menjadi garam yang jumlahnya kecil namun menjadi penentu rasa dalam makanan. Inilah alasan utama untuk membubarkan Partai Katolik. Dengan dibubarkannya Partai Katolik, kader-kader Beek bebas masuk ke Golkar tanpa dicurigai sebagai penyusup dari Partai Katolik. Sementara, para politisi bekas Partai Katolik yang tidak masuk ke Golkar dialihkan ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dipaksakan pembentukannya pada tahun 1973.
Sebagian dari kader-kader ini masuk ke dalam Opsus, jaringan intelijen yang dikendalikan Ali Moertopo. Kader-kader Beek berperan sangat besar dalam memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (The Act of Free Choice) atau Pepera tahun 1969. Ini adalah pemungutan suara untuk menentukan apakah Papua Barat akan bergabung dengan Indonesia ataukah menjadi negara tersendiri.
Frank Mount memuji setinggi langit peranan kader-kader Beek dalam Pepera ini. “Sekitar seratusan orang yang dilatih khusus oleh Beek dikirim ke Irian Jaya untuk mendorong agar rakyat memilih penyatuan dengan Indonesia. Mereka semua memberi laporan kepada Beek yang kemudian meneruskannya kepada Ali Moertopo tentang apa yang dibikin oleh orang-orang militer karena Moertopo tidak pernah percaya pada apa yang dikatakan oeh para perwira-perwiranya yang berada di lapangan jauh dari Jakarta.”
Tidak berhenti hingga Pepera. Kader-kader Beek juga ikut mengambil peranan dalam operasi intelijen untuk menginvasi Timor Leste tahun 1975. Banyak dari mereka yang terlibat dalam “operasi Komodo,” yang masuk ke Timor Leste sebagai relawan bersama dengan militer yang menanggalkan semua atribut kemiliterannya.
Namun peran kader-kader Beek paling besar terjadi pada tingkat diplomasi internasional. Pada saat itu, Harry Tjan dan Jusuf Wanandi diserahi tugas untuk berkomunikasi dengan Australia. Komunikasi dua konfidan terdekat Beek dengan Australia ini terekam pada sebuah buku setebal 900 halaman yang terbit pada tahun 2000, setahun setelah Timor Leste melakukan jajak pendapat dan akhirnya memilih merdeka dari Indonesia. Dalam buku yang memuat semua kabel dari Jakarta ke Canberra serta lalu lintas komunikasi dengan pihak Indonesia itu, terlihat bagaimana pentingnya peranan Harry Tjan dan Jusuf Wanandi.
Kembali ke sosok Pater Beek, keluwesannya membina hubungan dengan pejabat militer Indonesia membuat beberapa tokoh tanpa tanggung jawab menyatakan Beek adalah sosok CIA yang membina simpul-simpul perlawanan lokal.
Ada juga yang terus menganggap Pater Beek sebagai sosok "Godfather" di balik layar pendirian CSIS dan Sekretaris Bersama Golongan Karya—belakangan menjadi Golkar.
Dalam tugas kerasulannya, Beek yang sejak awal yakin dengan pluralisme dan pentingnya PANCASILA, juga lugas membina dan menjalin kerjasama dengan aktivis Nadhatul Ulama dan Muhammadiyah. Maklum Beek adalah sosok penting pendirian Asrama Realino di Yogyakarta dimana dua anak asuhnya yang muslim dan bersinar terang adalah pemikir Ahmad Wahib yang mati muda dan mubaligh kondang Hasan Basri.
F.
Beek dan Semangatnya.
"Lakukanlah sesuatu yang baik karena itu baik. Titik. Selebihnya bukan urusan kita."
Siapa tak kenal Golkar? Partai berlambang pohon beringin dengan warna kuning ini telah menjadi kendaraan politik bagi Orde Baru dan tetap menjadi salah satu partai besar (suka atau tidak suka) hingga kini dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Namun mungkin tak banyak yang mengenal pendiri Golkar, apalagi penggagas partai yang mulanya berlandaskan pada kekaryaan ini. Adalah misionaris Katolik Belanda bernama Josephus Gerardus Beek, SJ yang membawa ide pembentukan partai itu.
Belajar dari negara korporatif yang dipraktikkan dan cukup populer di Portugal pada 1930-an, Pater Beek, begitu dia sering disapa, memperkenalkan gagasan negara tanpa partai dimana perwakilan rakyat di DPR bukan wakil partai tetapi dari golongan karya yang terdiri dari para petani, nelayan, pemangkas rambut, pengusaha dan nelayan.
“Itulah ide semula. Tetapi di Eropa, ide ini lambat laun menjadi alat kediktatoran. Ide yang semula baik sekali di kemudian hari diselewengkan,” demikian ungkap salah satu sahabat Pater Beek, budayawan dan pastor Dick Hartoko, SJ seperti dikutip oleh Majalah Tempo dalam sebuah wawancara di tahun 1999.
Mungkin, jika Pater Beek masih hidup dan digugat atas keberadaan Golkar, dia akan mengucapkan kata-kata tegas yang masih dengan baik dikenang oleh para muridnya dalam kelas penggodokan dan kepemimpinan selama sebulan yang dikenal sebagai Khasebul, atau khalwat sebulan: "Lakukanlah sesuatu yang baik karena itu baik. Titik. Selebihnya bukan urusan kita."
Dilihat dari kacamata sekarang, sikap itu terkesan naif, dan mungkin lebih gampang menyalahkannya daripada melihatnya sebagai sebuah keyakinan diri untuk berbuat baik tanpa takut dan cemas akan apapun.
Bagi Pater Beek, "Keyakinan itu tak pernah setengah-setengah. Keyakinan harus panas atau dingin, tidak pernah hangat-hangat tahi ayam. Keyakinan itu rela mengambil risiko, termasuk jika suatu keputusan yang diambil ternyata dianggap salah."
Pater Beek juga kenyang dengan hidup yang keras di kamp interniran selama pendudukan Jepang di Kesilir, Banyuwangi (1943), kamp Banyubiru, Semarang (1944), kamp Cikudapateuh, Bandung (1945), dan kamp Pundong, Bantul (1946).
Tak heran ketika ia berkarya mendirikan asrama mahasiswa Realino untuk semua golongan dan agama, ia pun menerapkan pendekatan yang keras dan tegas sebagaimana tercermin dalam semboyan asrama itu, "Sapientia et Virtus" (Kebijaksanaan dan Keutamaan).
Ia pendidik yang tak suka punya mahasiswa yang lembek dan tidak punya api yang berkobar-kobar di dalam diri mereka. “Only the fight that counts: Hanya perjuanganlah yg menentukan,” demikian ungkapan favoritnya seperti dikutip dalam buku “Pater Beek SJ, Larut Tapi Tak Hanyut”.
Lagi-lagi dalam pedagogi moderen, pendekatan pendidik semacam itu sering dianggap kuno, tidak sensitif terhadap kepribadian dan kondisi kejiwaan terdidik.
Pendekatan pendidikan yang keras semacam itu seturut dengan peribahasa Belanda yang mungkin dihayatinya dengan baik, “Zachte heelmeesters maken stinkende wonden” (Cara pengobatan yang lemah lembut membuat borok makin menyengat baunya).
Yang jelas, orang mengetahui bahwa Pater Beek mempunyai siswa-siswa yang menjadi tokoh-tokoh yang unggul di bidang masing-masing.
Bagi kebanyakan yang tidak mengenalnya, Pater Beek adalah misteri karena ia selalu memilih bekerja di balik layar. Dia tak suka pamer dan berpuas bahwa pemikirannya, semangatnya tetap hidup dan berkobar-kobar di hati para muridnya. Sebagaimana dengan terang benderang dikatakannya: "Di dunia ini jangan bikin monumen. Nanti kamu akan kesulitan kalau mau mati."
Ya, Pater Beek berpulang dalam damai pada usia 66 tahun di RS Sint Carolus, pada 17 September 1983. Banyak yang masih gelap tentangnya, tapi orang bisa merasakan terangnya. Seperti garam, ia larut tapi terasa asinnya, joss - cespleng - tandes..
G.
In Memoriam:
Kader Katolik Menurut Pater Beek
YES KADER
NO KEDER
Kader: Binatang macam apa itu?
Dalam sejarah, apa yang disebut “kader”, kata dalam bahasa Perancis cadre, mengacu pada staf pimpinan per­manen pada suatu pusat latihan militer yang melatih para calon pasukan. Dengan begitu, mereka dapat membentuk satuan-satuan baru.
Dengan kata lain, cadre merupakan korps militer profesional yang dipelihara dalam masa damai sebagai basis militer yang diperlukan dalam masa peperangan.
Pada zaman itu, sebelum mapannya negara-­bangsa, negara tidak memiliki tentara nasional yang permanen, melainkan membentuk tentara bayaran yang bersifat kosmopolitan, dalam arti dan kebangsaan apa pun, untuk keperluan peperangan. Tetapi, pasukan ten­tara seperti itu dibubarkan setelah perang usai karena mahal pemeliharaannya.
Awal keterlibatan.
Saya berangkat ke Selandia Baru untuk mengikuti kur­sus menjadi guru bahasa Inggris di Victoria University di Wellington tahun 1961 dengan syarat dan pemerintah Indonesia waktu itu, bahwa sekembali saya ke Tanah Air saya harus menjadi pegawai negeri.
Saya berhasil lulus dengan nilai terbaik dan mendapatkan tawaran beasiswa untuk mencapai BA di Universitas Otago, Dunedin. Di situ saya mengambil Political Science dan Bahasa Russia dan berhasil mencapai gelar BA.
Tahun 1966, dalam per­jalanan pulang ke Indonesia, saya mampir di Kedutaan Indonesia di Australia dan mengatakan bahwa saya tidak akan memenuhi janji saya untuk menjadi pegawai nege­ri. Jawaban yang saya peroleh membesarkan hati saya. Mereka berkata: “Saudara sudah terlalu lama di luar nege­ri. Orang di Jakarta sudah lupa tentang syarat itu!”
Oleh karenanya, satu dua hari sekembali saya dari New Zealand, saya diantar oleh adik saya Soedradjad untuk dikenalkan pada Saudara J.B. Oetoro untuk bersama dia menemui Romo Beek di kantornya di Jl Gunung Sahari 88. Saya ingin bergabung dalam proyek Romo Beek.
Kadas
Sebelum kaderisasi sebulan (kasebul) dimulai, terlebih dahulu diadakan kaderisasi dasar (kadas) dalam waktu seminggu, yang dihadiri oleh kurang lebih 20 orang, dari pelbagai kota ini dipimpin oleh Romo Beek sendiri dengan beberapa orang.
Saya memimpin kadas sendiri beberapa kali, di Bogor dengan tiga orang termasuk Se­orang pastor, dan di Semarang dengan seorang teman (Almarhum Saudara Haksoro) ditemani oleh pastor paroki.
Materi kadas meliputi masalah-masalah dasar seperti demokrasi, ormas, dan orpol. Peserta-peserta kasebul dipilih oleh pimpinan daerah dari para peserta kadas, sehingga setiap rombongan mencapai jumlah kurang lebih 30 orang, yang datang dan beberapa daerah juga.
Kemudian, setelah jumlah kader kasebul (Kas) mencu­kupi, peserta—peserta kadas dipilih dan dilatih oleh para alumni Kas sendiri.
Kasebul
Pengikut kaderisasi sebulan diambil dari mereka yang telah lulus mengikuti kadas dan tinggal di seputar pusat kota universitas. Di samping pendidikan kader, mereka akan memperoleh berbagai macam kuliah oleh narasum­ber yang berbeda. Pada satu hari bisa dikumpulkan kurang lebih 20 orang calon pengajar. Para pengajar memilih dari daftar mata kuliah yang ada di papan tulis.
Karena ragu-ragu, saya ditunjuk oleh Romo Beek sendiri untuk mengajar masalah kepantaian. Sekali saya memberi cera­mah pada World Youth Movement, “Follow-up to Cadre Training “, dan menulis “Indonesian Catholicism” dalam jurnal Manna yang diterbitkan oleh Melbourne University atas permintaan Romo Beek untuk kepentingan perkenal­an.
Saya mengerti tentang kerasnya disiplin yang dituntut dari para kader. Pada suatu hari ada seorang kemenakan saya, seorang gadis, yang sudah selesai latihan kase­bul dengan nilai terbaik. Tetapi, pada malam terakhir dia diketahui Romo Beek keluar kamar. Dia langsung dipanggil dan dinyatakan keluar dan harus segera pulang pada pagi harinya. Romo Beek kemudian minta maaf kepada saya tentang kejadian itu. Saya hanya menjawab: “Dia sudah Romo keluarkan, ya sudah!”
Dalam kaderisasi Romo Beek, tidak ditentukan akan menjadi apa para kader nantinya. Mereka akan diperlu­kan dalam segala bidang kehidupan di masyarakat. Yang penting adalah keyakinan imannya dan keahlian dalam bidangnya sendiri.
Tetapi, kader macam apa yang diimpikan oleh Romo Beek? Bukan sekadar kader Katolik! Bukan kader Beek! Bukan kader PMKRI! Bukan pula kader CSIS! Bukan kader Kongregasi Maria! Bukan kader Pemuda Katolik. Yang dicari oleh Romo Beek adalah kader PANCASILAIS!
“Evaluasi”
Di samping kaderisasi, Romo Beek juga mengadakan diskusi setiap Jumat malam di tempat-tempat yang ber­beda: di Keuskupan, di Gedung KWI, di salah satu gedung sekolah Katolik, dsb. untuk membahas masalah-masalah aktual di antara para pengajar kasebul, para kader, para pastor, bahkan Bapak Uskup Djojoseputro, dan para tokoh politik Katolik.
Paginya oleh Romo Beek ditulis selebaran Evaluasi yang kebanyakan hanya satu lembar untuk mengupas masalah-masalah aktual dan pendirian nasional dan Katolik sebagai hasil pertemuan malam sebelumnya.
Selebaran-selebaran itu dikirimkan ke berbagai pihak, termasuk surat kabar. Bahkan, isinya satu-dua kali dimuat di Majalah Times. Yang menulis evaluasi itu terutama adalah Romo Beek sendiri, tetapi sering juga ditulis oleh Sdr Oetoro, atau saya sendiri, atau teman yang lain, seperti Sdr Haksoro dan Sdr Kajat Hartoyo (keduanya Almarhum). Tetapi, semuanya pasti diperiksa oleh Romo Beek sendi­ri.
Untuk beberapa waktu, saya juga menulis beberapa lembar ulasan politik dengan tambahan ulasan ekonomi oleh adik saya Soedradjad untuk konsumsi luar negeri. Ulasan itu ditulis dalam bahasa Inggris dan dinamai Monthly Review. Tidak lama kemudian, saya berhenti sama sekali bekerja untuk Romo Beek, karena kaderisasi akan segera diakhiri oleh Jenderal Yesuit Arupe dengan alasan yang tidak jelas.
Kami membujuk Romo Beek agar menentang perintah Arupe, tetapi Romo Beek berpendirian, bahwa dia seorang pastor, yang “di depan umum ketika ditahbiskan sebagai imam saya bersumpah untuk setia pada atasan. Kalian akan menyesal di kemudian hari kalau saya me­nuruti kehendak kalian”.
Tak lama setelah itu, saya menutup kantor “Biro Dokumentasi” atas nama Romo Beek. Tetapi, kasebul tidak bisa berhenti mendadák, jadi tetap berjalan terus untuk sementara.
Beberapa waktu sebelum “Biro Dokumentasi” tutup, saya bekerja sebagai Sekretaris, dan kemudian Direktur Eksekutif Center for Stra­tegic and International Studies (CSIS) menggantikan Sdr Mingky yang pergi ke Rand Corporation untuk studi PhD.
Karena sesuatu hal saya meletakkan jabatan, dan pergi ke London untuk meneruskan belajar di London School of Economics and Political Science (LSE) atas bantuan Jenderal Ali Murtopo, Ketua Kehormatan CSIS.
Sekembali saya dari Inggris lima tahun kemudian dan setelah meraih gelar PhD, saya dapati Romo Beek sakit parah. Saya sempat menemani Romo Beek sehari di Rumah Sakit St Carolus bersama istri saya, Vonny. Sakit liver yang lama dideritanya semakin parah.
Keesokan harinya saya pamit pada Romo Beek, bahwa saya harus ke Amerika Serikat selama sebulan. Jawaban Romo Beek, “Baik, kamu pergi dulu ke Amerika, sebentar lagi saya pasti akan menerima “penyelesaian dari Tuhan”.
Ia tertawa sambil menggerakkan kepal­an tangannya ke arah perut saya. Kegembiraan dan rasa optimis tetap menjadi ciri Romo Beek, walau di benak saya sudah membayangkan hal yang paling buruk.
Mengisi kekosongan
Kaderisasi Romo Beek berhenti beberapa waktu. Setelah diganti­kan oleh Romo Lukas SJ, dan tempat pertemuan dipindah dari Jakarta ke Lam­pung, saya kerap kali mengadakan diskusi dengan para alumni kase­bul di Yogyakarta dan Solo, juga di Bandung, Purwokerto, Malang, Surabaya, Semarang, Manado, dan tempat-tempat lainnya untuk refreshing dan memelihara momentum. Saya masih tetap akrab dan terus kontak dengan Romo Lukas walau saya tidak lagi mengajar, karena kami dijiwai oleh semangat yang sama, “Semangat Romo Beek”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar