Ads 468x60px

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU PALMA



HOMILI PAUS FRANSISKUS
DALAM MISA HARI MINGGU PALMA
25 Maret 2018
Bacaan Ekaristi :
Mrk. 11:1-10; Yes. 50:4-7; Mzm. 22:8-9,17-18a,19-20,23-24; Flp. 2:6-11; Mrk. 14:1-15:47.
“Yesus memasuki Yerusalem". Liturgi mengundang kita untuk ikut serta dalam sukacita dan perayaan orang-orang yang berteriak memuji Tuhan mereka; sukacita yang akan memudar dan meninggalkan rasa getir dan dukacita pada akhir kisah Sengsara.
Perayaan ini tampaknya menggabungkan kisah sukacita dan kisah penderitaan, kesalahan dan keberhasilan, yang merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari sebagai para murid.
Perayaan entah bagaimana mengungkapkan perasaan yang bertentangan yang juga kita, pria dan wanita saat ini, alami : kemampuan sangat mengasihi ... tetapi juga sangat membenci; kemampuan berani mengorbankan diri, tetapi juga kemampuan "mencuci tangan kita" pada saat yang tepat; kemampuan untuk setia, tetapi juga sangat mengabaikan dan mengkhianati.
Kita juga melihat dengan jelas di seluruh kisah Injil bahwa sukacita yang dibangkitkan Yesus adalah, bagi beberapa orang, sumber kemarahan dan kejengkelan.
Yesus memasuki kota yang dikelilingi oleh umat-Nya dan dengan hiruk pikuk nyanyian dan teriakan. Kita dapat membayangkan bahwa di tengah-tengah hingar bingar kita mendengar suara anak laki-laki yang diampuni, penderita kusta yang disembuhkan, atau kembalinya domba yang hilang.
Kemudian juga, nyanyian pemungut cukai dan orang najis; teriakan mereka yang tinggal di pinggiran kota. Dan teriakan para pria dan wanita yang telah mengikuti Yesus karena mereka merasakan belas kasih-Nya atas penderitaan dan kesengsaraan mereka ...
Hingar bingar itu adalah nyanyian dan sukacita spontan dari semua orang yang dikesampingkan dan dipandang rendah, yang, setelah dijamah oleh Yesus, sekarang dapat berteriak : "Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan". Bagaimana mungkin mereka tidak memuji orang yang telah memulihkan martabat dan harapan mereka? Sukacita mereka adalah sukacita dari begitu banyak orang berdosa yang diampuni yang sekali lagi dapat percaya dan berharap.
Seluruh sukacita dan pujian ini adalah sumber ketidaknyamanan, skandal dan kekesalan bagi mereka yang menganggap diri mereka benar dan “setia” terhadap hukum dan aturan-aturan ritualnya. Sukacita yang tak tertahankan bagi mereka yang berpengalaman melawan kesakitan, penderitaan dan kesengsaraan. Sukacita yang tak tertahankan bagi mereka yang telah melupakan banyak kesempatan yang telah diberikan kepada diri mereka.
Betapa sulitnya bagi orang-orang yang merasa nyaman dan merasa benar untuk memahami sukacita dan perayaan kerahiman Allah! Betapa sulitnya bagi mereka yang hanya percaya pada diri mereka sendiri, dan memandang rendah orang lain, untuk ikut serta dalam sukacita ini.
Di sinilah tempat datangnya macam teriakan lain, teriakan garang dari mereka yang berteriak: "Salibkan Dia!" Teriakan itu tidak bersifat spontan tetapi sudah dipersenjatai dengan penghinaan, fitnah dan kesaksian palsu.
Teriakan itu adalah suara dari mereka yang memutarbalikkan kenyataan dan menciptakan berbagai cerita untuk kepentingan mereka sendiri, tanpa memperhatikan nama baik orang lain. Teriakan mereka yang tidak bermasalah dalam mencari cara untuk mendapatkan kekuasaan dan membungkam suara-suara yang tidak sejalan.
Teriakan yang berasal dari fakta-fakta yang "terputar balik" dan melukiskan fakta-fakta tersebut sedemikian rupa sehingga fakta-fakta tersebut merusak wajah Yesus dan mengubah-Nya menjadi seorang "penjahat". Teriakan tersebut adalah suara orang-orang yang ingin mempertahankan kedudukan mereka, terutama dengan menjelek-jelekkan orang-orang yang tak berdaya. Teriakan tersebut adalah teriakan yang lahir dari pertunjukan kecukupan diri, kesombongan dan keangkuhan, yang tidak bermasalah dengan berteriak: "Salibkan Dia, salibkan Dia".
Dan demikianlah perayaan orang-orang tersebut akhirnya tercekik. Harapan dihancurkan, impian-impian dibunuh, sukacita diberangus; hati terperisai dan amal kasih menjadi dingin. Teriakan tersebut adalah teriakan "selamatkanlah dirimu", yang akan memajalkan rasa kesetiakawanan kita, meredam cita-cita kita, dan mengaburkan daya penglihatan kita ... teriakan yang ingin mengenyahkan belas kasihan.
Berhadapan dengan orang-orang seperti itu, penyembuhan terbaik adalah memandang salib Kristus dan membiarkan diri kita ditantang oleh teriakan terakhir-Nya. Ia wafat dengan berteriak demi cinta-Nya bagi kita masing-masing: tua dan muda, orang-orang kudus dan orang-orang berdosa, orang-orang zaman-Nya dan orang-orang zaman kita.
Kita telah diselamatkan oleh salib-Nya, dan tak seorang pun dapat membendung sukacita Injil tersebut; tak seorang pun, dalam situasi apa pun, berada jauh dari tatapan Bapa yang penuh belas kasih. Memandang salib berarti membiarkan prioritas, pilihan, dan tindakan kita ditantang. Memandang salib berarti mempertanyakan diri kita tentang kepekaan kita terhadap orang-orang yang sedang mengalami kesulitan. Di manakah hati kita terpusat? Apakah Yesus Kristus terus menjadi sumber sukacita dan pujian di dalam hati kita, atau apakah prioritas dan perhatian hati kita membuat kita malu untuk memandang orang-orang berdosa, orang-orang kecil dan orang-orang yang terlupakan?
Kaum muda yang terkasih, sukacita yang dibangkitkan Yesus di dalam diri kalian adalah sumber kemarahan dan kejengkelan bagi beberapa orang, karena kaum muda yang bersukacita sulit untuk diselewengkan.
Tetapi hari ini, jenis teriakan ketiga adalah mungkin : “Beberapa orang Farisi yang turut dengan orang banyak itu berkata kepada Yesus: 'Guru, tegurlah murid-murid-Mu itu'. Jawab-Nya: 'Aku berkata kepadamu: Jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak' (Luk 19:39-40).
Godaan untuk membungkam kaum muda selalu ada. Orang-orang Farisi sendiri menegur Yesus dan meminta-Nya untuk membungkam mereka.
Ada banyak cara untuk membungkam kaum muda dan membuat mereka tidak terlihat. Banyak cara untuk membius mereka, membuat mereka tetap diam, tidak bertanya apa-apa, tidak mempertanyakan apa pun. Ada banyak cara untuk memberi mereka obat penenang, agar mereka tidak terlibat, membuat mimpi-mimpi mereka datar dan suram, remeh dan sayu.
Pada Hari Minggu Palma ini, ketika kita merayakan Hari Orang Muda Sedunia, kita sebaiknya mendengarkan jawaban Yesus kepada seluruh orang Farisi di masa lalu dan masa kini : “Jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak” (Luk 19:40).
Kaum muda yang terkasih, kalian memiliki teriakan di dalam diri kalian. Terserah kalian untuk memilih "Hosanna!" Hari Minggu Palma, agar tidak jatuh ke dalam "Salibkan dia!" hari Jumat Agung... Terserah kalian untuk tidak tetap diam. Bahkan jika orang lain tetap diam, jika kita orang-orang tua dan para pemimpin tetap diam, jika seluruh dunia tetap diam dan kehilangan sukacitanya, saya bertanya kepada kalian : Apakah kalian akan berteriak?
Tolong, buatlah pilihan itu, sebelum batu-batu itu sendiri berteriak”. (PS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar