Ads 468x60px

Minggu, 02 September 2018

HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Minggu, 02 September 2018
Hari Minggu Biasa XXII
Ulangan (4:1-2.6-8)
(Mzm 15:2-3a.3cd-4ab.5)
Yakobus (1:17-18.21b-22.27)
Markus (7:1-8.14-15.21-23)
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Allah mengijinkan kita mengalami masa-masa kering dan kuatir. Apakah Dia telah meninggalkan kita, untuk membuat kita pergi mencari dan menjangkauNya.
Ketika kita berjuang, bahkan menderita, itulah saat kita bertumbuh dalam iman.
Kadang-kadang, pertumbuhan spiritual yang paling baik justru terjadi pada masa-masa gelap, karena di saat itulah kita menyadari betapa kita sangat memerlukan Tuhan dan bergantung kepadaNya.
A.
MADAH HARIAN PAGI
Minggu, 2 September 2018
Hari Minggu Biasa XXII
Allah hidup dan meraja
Alleluya, alleluya
Maut sudah dikalahkan
Hidup sudah dilimpahkan.
Alleluya, alleluya
Terpujilah Kristus Tuhan.
Hari ini hari Tuhan
Alleluya, alleluya
Hari penuh kesukaan
Hari raya kebangkitan
Alleluya, alleluya
Terpujilah Kristus Tuhan.
Mari kita bergembira
Alleluya, alleluya
Bersyukur sambil memuji,
Bermadah sambil bernyanyi
Alleluya, alleluya
Terpujilah Kristus Tuhan.
DOA
Allah segala kuasa, milik-Mulah segala kebaikan. Tanamkanlah dalam hati umat-Mu cinta akan Dikau dan binalah segala yang baik dalam diri kami. Murnikanlah semangat ibadah kami dan teguhkanlah dengan kasih setia-Mu. Demi Yesus Kristus, Putera-Mu dan pengantara kami, yang hidup dan berkuasa bersama Engkau dalam persekutuan Roh Kudus, sepanjang segala masa. Amin.
B.
“BULAN – BULAN BERDEVOSI”.
SEPTEMBER :
Bulan Devosi Tujuh Duka Santa Maria.
Semua orang akan mengalami kerja keras dan konflik ketika pertama kali mereka dipertobatkan Allah, namun kemudian, mereka akan mengalami sukacita yang tak terungkapkan.
Bagaikan orang yang mencoba menyalakan api, asapnya akan memenuhi mata, mata menjadi pedih dan berair, namun lalu mereka berhasil menyalakannya dan menjadi gembira.
Bukankah telah tertulis : Allah kita adalah api yang menghanguskan (Ibrani 12.29), jadi kita harus mengobarkan api ilahi dengan airmata, dan kesulitan.
===
Gelar "Mater Dolorosa" (“Bunda Berdukacita”) diberikan kepada Maria dengan menitikberatkan pada dukacita dan sengsaranya yang kelewat batas selama menjadi Ibunya Kristus.
Menurut tradisi Gereja, Dukacita Maria meliputi 7 peristiwa.
7 Dukacita tersebut adalah:
1.Pengungsian Keluarga Kudus ke Mesir,
2.Yesus yang masih kanak-kanak yang hilang dan diketemukan di Bait Allah,
3.Nubuat Simeon,
4.Bunda Maria berjumpa dengan Yesus dalam perjalanan-Nya menuju Kalvari,
5.Bunda Maria berdiri di dekat kayu salib ketika Yesus disalibkan,
6.Bunda Maria memangku jenazah Yesus setelah Ia diturunkan dikayu salib,
7.Yesus dimakamkan.
Tujuh Dukacita Santa Perawan Maria di atas diambil dari peristiwa-peristiwa yang dicatat dalam Kitab Suci. Devosi ini pastinya memiliki sejarah yang panjang, meskipun tidak secara resmi disebarluaskan Gereja hingga awal abad kesembilan belas.
Sebelum persetujuan resmi Paus Pius VII, Ordo Servite mendapatkan ijin pada tahun 1668 untuk merayakan Peringatan Santa Perawan Maria Berdukacita; Ordo Servite banyak berupaya dalam mempopulerkan Devosi Tujuh Duka Santa Perawan Maria.
Pada Abad Pertengahan, Teologi Katolik memusatkan diri terutama pada Sengsara Kristus; namun demikian, di samping Manusia Sengsara, umat beriman senantiasa juga merenungkan dukacita Ratu Para Martir. Devosi kepada Kristus yang Tersalib dan kepada Santa Perawan Maria Berdukacita berkembang seiring. Di Kalvari, dalam satu pengertian, terdapat dua altar besar, yang satu adalah Tubuh Yesus, dan yang lain adalah Hati Maria yang Tak Bernoda. Kristus mempersembahkan Tubuh-Nya; Bunda Maria mempersembahkan hatinya, jiwanya sendiri. Setiap tanggal 15 September, sehari sesudah Pesta Salib Suci, Gereja mengenangkan belas kasih Santa Perawan Maria dalam Peringatan Santa Perawan Maria Berdukacita; namun tepat juga dalam tahun liturgi, teristimewa dalam Masa Prapaskah, kita menghormati Dukacita Santa Perawan Maria.
Adapun, pada tahun 1727, Paus Benediktus XIII memasukkan peringatan Santa Perawan Maria Berdukacita pada penanggalan Gereja Katolik, yang jatuh pada Jumat sebelum Minggu Palma.
Namun peringatan ini kemudian ditiadakan dengan pengubahan penanggalan yang diterbitkan dalam Missale Romawi pada tahun 1969.
Pada tahun 1814, guna menghormati Tujuh Dukacita Maria maka Paus Pius X menetapkan tanggal yang permanen, yaitu tanggal 15 September sebagai hari umat beriman untuk merayakan hari Santa Perawan Maria Berdukacita.
Tujuan dari Devosi Tujuh Duka Santa Perawan Maria ini adalah mendorong persatuan dengan sengsara Kristus melalui persatuan dengan sengsara istimewa yang ditanggung Santa Perawan sebab ia adalah Bunda Allah. Dengan mempersatukan diri dengan, baik Sengsara Kristus dan Dukacita BundaNya yang Tersuci, kita masuk ke dalam Hati Yesus dan menghormatinya dengan terlebih lagi; Yesus dihormati dengan terlebih lagi sebab kita begitu menghormati BundaNya.
Maria memang tidak diceritakan dalam kisah-kisah Injil mengenai Transfigurasi ataupun masuknya Yesus dengan jaya ke Yerusalem, tetapi ia diceritakan ada di Kalvari. Maria memahami benar apa Kehendak Allah dan ia setia serta taat, bekerjasama dengan Putranya sebagai Co-redemptrix. Ia telah mempersiapkan kurban bagi persembahan dan sekarang ia mempersembahkan-Nya di altar Kalvari.
Maria mempunyai tiga kekasih dalam Hatinya yang Tak Bernoda: Tuhan, Putranya, dan jiwa-jiwa. Ia begitu mengasihi dunia hingga ia menyerahkan Putra tunggalnya. Seperti dikatakan St Bernardus, “Pedang tidak akan sampai kepada Yesus apabila ia tidak terlebih dahulu menembusi hati Maria.” Maria mencintai jiwa-jiwa; dan di Kalvari, setelah menanggung sengsara yang begitu keji, ia memperoleh ganjaran menjadi bunda segenap umat manusia.
Maria adalah Rasul, sebab ia adalah Co-redemptrix: Lihatlah Maria di Kalvari, ia berduka dan berdoa; ia berdiri, bagaikan seorang yang mempersembahkan kurban. St Ambrosius mengatakan, “Aku membaca bahwa ia berdiri, tetapi aku tidak membaca bahwa ia menangis.” Ketika Maria menyerahkan Putra tunggalnya bagi kita, ia menyerahkan semuanya bagi kita. Sebab itu, dengan tepat dapat dikatakan: “Lihatlah hati ini yang begitu mengasihi segenap umat manusia hingga tak menyisakan sedikitpun bagi mereka.”
====
TUJUH RAHMAT DARI DEVOSI TUJIH DUKA MARIA
1. Aku akan menganugerahkan damai dalam keluarga mereka.
2. Mereka akan mendapatkan pencerahan mengenai misteri-misteri ilahi.
3. Aku akan menghibur mereka dalam kesesakan dan aku akan menyertai mereka dalam karya mereka.
4. Aku akan memberikan apapun yang mereka minta sepanjang tidak bertentangan dengan kehendak Putra ilahiku atau menodai kekudusan jiwa-jiwa mereka.
5. Aku akan membela mereka dalam pertempuran rohani melawan musuh neraka, dan aku akan melindungi mereka di setiap saat hidup mereka.
6. Aku akan memberikan pertolongan yang kelihatan di saat ajal mereka; mereka akan memandang wajah Bunda mereka.
7. Aku memperolehkan rahmat ini dari Putra Ilahiku, bahwa mereka yang menyebarluaskan devosi kepada airmata dan dukacitaku, akan direnggut langsung dari kehidupan duniawi ini ke kebahagiaan surgawi yang abadi, sebab segala dosa mereka telah diampuni, dan Putraku serta aku akan menjadi penghiburan dan sukacita abadi mereka.
MANFAAT DEVOSI KEPADA BUNDA DUKACITA
1. Menyadari nilai suatu jiwa, yang begitu tak ternilai hingga dibayar dengan Kurban Agung di Kalvari.
2. Giat berkarya bagi jiwa-jiwa, melalui pewartaan, menunaikan kewajiban hidup, dan berdoa bagi orang-orang berdosa.
3. Berdoa senantiasa, hidup dalam persatuan dengan Tuhan; siapa pun yang memiliki hati serupa dengan Hati Yesus dan Hati Maria, akan bekerja demi keselamatan jiwa-jiwa.
Pastinya, apabila kita berdosa, kita membuat Santa Perawan berduka, sebab dia adalah sungguh Bunda kita, Bunda rohani kita, dan ia merawat kita seperti merawat Bayinya, lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Adalah kehendak Yesus bahwa kita merenungkan Sengsara-Nya, berdevosi kepada-Nya dan memperbaharui duka kita atas dosa. Adalah kehendak-Nya juga, seperti yang diterangkan dengan jelas oleh Gereja, bahwa kita merenungkan belas kasih Maria dalam Sengsara-Nya.
C.
ULASAN EKSEGETIS
HARI MINGGU BIASA XXII TAHUN B
2 September 2018
(Mrk 7:1-8.14-15.21-23) :
"SIKAP BERAGAMA YANG SEJATI?"
Rekan-rekan yang baik!
Dalam tiap agama ditumbuhkan dan dikembangkan hidup rohani lewat lembaga hukum, aturan, tatacara, upacara, dan pemahaman kisah-kisah sakral (Kitab Suci). Jadi ada tujuan, yakni kerohanian, dan ada pula sarananya, yaitu kelembagaan tadi.
Dalam kenyataan kerap tujuan dan sarana saling bertukar. Misalnya, tata upacara atau hukum-hukum agama menjadi makin dipentingkan dan menyingkirkan semua yang dirasa tidak sejalan. Akibatnya, kelembagaan lambat laun menjadi tujuan beragama, bukan lagi sarana. Orang bisa mulai merasa sesak, kurang leluasa.
Sering dalam keadaan ini ada pembaruan untuk menjernihkan tujuan semula. Hidup beragama biasanya berada di antara dua kutub itu. Bisa lebih dekat dengan yang satu, bisa menjauh dari yang lain. Ada kecenderungan untuk hanya melihat tujuan sehingga sarana kelembagaan disepelekan. Tapi ada juga tarikan untuk mementingkan sarana dengan akibat tujuan menjadi kabur.
Permasalahan ini tercermin pula dalam petikan Injil Minggu Biasa XXII B ini (Mrk 7:1-8.14-15.21-23). Yesus ditanyai orang Farisi dan ahli Taurat, mengapa murid-muridnya tidak menaati adat turun temurun membasuh tangan sebelum makan.
Orang-orang itu curiga Yesus dan murid-muridnya ini kaum yang tidak peduli lagi akan lembaga agama. Dari jawaban yang diberikannya, dapat disimpulkan bahwa Yesus bukannya hendak mengurangi wibawa kelembagaan agama. Ia malah ingin memurnikannya sehingga dapat membawa ke tujuan yang sesungguhnya. Ia memakai bahasa yang amat nyata seperti pernyataan bahwa yang perlu dibasuh bukannya tangan atau piring mangkuk, melainkan batin manusia. Maklum, tindakan-tindakan buruk timbul dari itikad buruk yang ada dalam batin, bukan karena tindakannya sendiri.
1.
LATAR BELAKANGNYA.
Di kalangan orang Yahudi pada zaman Yesus, pembasuhan tangan sebelum makan termasuk kesalehan yang dijalankan oleh para imam dan mereka yang berurusan dengan ibadat. Adat seperti itu dirincikan di dalam Talmud, yakni kumpulan penjelasan aturan dan hukum agama yang terangkum dalam Misyna. Misyna sendiri merupakan penjabaran dari hukum-hukum Taurat.
Bagaimanapun juga,tidak ada kewajiban seperti itu bagi yang bukan imam. Orang Farisi dan para ahli Taurat tidak termasuk golongan imam. Memang ada kewajiban membasuh diri sebelum masuk dalam Bait sebelum beribadat, tetapi yang dibicarakan dalam Injil hari ini ialah pembasuhan tangan secara ritual sebelum makan.
Sebenarnya Yesus tidak akan terlalu ditanya-tanya mengenai hal serupa karena permasalahannya hanya menyangkut para imam Yahudi. Yesus dan para muridnya bukan imam dan tidak bertugas sebagai imam dalam masyarakat Yahudi ketika itu.
Masalah yang terungkap dalam petikan hari ini mencerminkan keadaan pada zaman generasi kedua pengikut Yesus. Pada masa itu, praktek membasuh tangan juga dijalankan oleh orang Yahudi yang bukan imam sebelum makan sebagai ungkapan kesalehan.
Para pengikut Yesus generasi kedua dari kalangan Yahudi banyak yang tidak menjalankannya. Mereka sebenarnya mengikuti adat yang lebih tua dan tidak menambah-nambah dengan pelbagai praktek kesalehan. Mengapa? Mereka belajar dari generasi pertama yang mengikuti sikap Yesus terhadap hukum agama, yakni menghayati semangatnya, bukan huruf atau bentuk luarnya.
Patut diingat, para pengikut Yesus waktu itu belum menganggap diri dan belum dianggap memeluk “agama” baru. Mereka tidak mengikuti ritualisme dan legalisme yang semakin terasa di beberapa kalangan Yahudi pada zaman setelah Yesus. Baru kemudian mereka makin menjadi agama baru karena makin berbeda dengan tatacara dalam agama Yahudi. Markus menyusun Injilnya dengan latar belakang seperti ini.
Kaum Farisi itu orang-orang yang sebetulnya dengan sungguh-sungguh mau hidup menjalankan perintah agama secara radikal. Bahkan harfiah. Mereka mau menunjukkan begini inilah hidup mengikuti ajaran agama turun-temurun.
Mereka berpengaruh besar dalam Sanhedrin, yakni lembaga peradilan agama dan pemerintahan di kalangan orang Yahudi. Mereka punya keyakinan, hidup seperti yang mereka jalani itu nanti akan berlangsung juga di akhirat. Jadi mereka mau menyucikan hidup duniawi sehingga menjadi semacam antisipasi hidup nanti. Di kalangan seperti inilah mulai tumbuh upaya-upaya kesalehan yang lebih besar dari yang biasa diatur dalam adat dan hukum agama.
Kisah pembicaraan antara Yesus dan orang Farisi serta ahli Taurat di sini tersusun atas dasar keyakinan para pengikut Yesus mengenai pemikiran dan sikap sang Guru sendiri. Bukan berarti pembicaraan dalam petikan ini tak pernah terjadi. Bisa saja pada zaman Yesus sudah ada beberapa kelompok orang saleh yang mempraktekkan pembasuhan ritual meski bukan imam. Orang yang menanyai Yesus itu mengira kelompok Yesus ini bisa jadi berasal kaum saleh baru tadi, seperti mereka sendiri.
2.
PEGANGAN.
Dalam menanggapi kecenderungan ritualisme dan upaya menjamin keselamatan lewat sarana kesalehan itu para pengikut Yesus dari generasi kedua dan selanjutnya mencoba mengingat-ingat apa yang kiranya bakal diajarkan Yesus sendiri. Ada dua garis yang mereka temukan, dan kedua-duanya termaktub dalam Injil hari ini.
Pertama, mereka yakin bahwa sang Guru mengajarkan ibadat yang tulus, bukan sekadar puji-pujian dangkal yang tidak disertai keyakinan rohani. Ini termaktub dalam Mrk 7:6-7. Di situ ditampilkan kembali Yes 29:13 yang berisi amatan tajam terhadap kurangnya integritas dalam kehidupan agama orang-orang di Yerusalem, pusat keyahudian waktu itu.
Agama dijadikan dalih kepentingan manusiawi, kepentingan pihak yang berkuasa waktu itu. Akibatnya macam-macam ketidakadilan terjadi dan dibenarkan oleh cara beragama. Ibadat di Bait memang dikelola baik, tetapi korupsi, kemelaratan didiamkan saja. Dengan demikian hidup rohani makin terpisah dari kehidupan yang nyata. Inilah yang dikecam oleh orang seperti Nabi Yesaya. Gemanya terdengar dalam petikan hari ini.
Kedua, para murid dari generasi kedua itu juga tahu bahwa hidup rohani yang tulus, jadi hidup beragama yang sejati, bertujuan memurnikan batin manusia. Bila sungguh-sungguh, maka tak perlu lagi khawatir apa ada yang mengotori atau yang perlu disucikan dulu. Orang sudah hidup dalam kesucian batin yang mengangkat yang ada di luar. Bahkan mereka yakin Guru mereka menganggap yang ada dalam hidup sehari-hari itu bersih, tidak mengotori. Yang bisa mengotori itu tentunya batin yang tak bersih. Inilah yang digemakan dalam Mrk 7:14-15.
Dengan kata lain, bila orang beranggapan yang di luar itu hanya mengotori belaka, maka dapat disimpulkan bahwa kehidupan batin yang bersangkutan sendirilah yang tidak beres.
Dua pokok jawaban itu tetap berarti bagi zaman kita. Sekarang ada kecenderungan menjalankan sikap agamaist secara berlebihan. Yang ada di luar lingkup keagamaan dianggap kotor dan busuk. Tetapi perlu diingat, manakah tujuan hidup beragama yang sebenarnya: melawan dunia dengan asal melawan atau mengembangkan hidup rohani yang mantap sehingga dapat berdialog dengan pihak lain.
Mungkin kita akan merasa kita sudah jauh lebih maju dari pelbagai kelompok “lain”. Kita merasa toleran, terbuka, berpijak pada kenyataan di masyarakat. Sungguh sudah bersihkah yang ada di dalam batin? Apakah kita memiliki cara pandang yang memadai mengenai keadaan di sekitar. Atau asal giat belaka, asal mengubah, asal memasyarakat? Arah jawaban kedua di atas tadi masih banyak artinya. Hanya bila kita juga bersih dari dalam maka yang keluar akan bersih, bila tidak maka kita hanya mengeruhkan suasana.
3.
DAFTAR KEBUSUKAN.
Pada akhir bacaan Injil hari ini (Mrk 7:21-22) terdapat daftar panjang pelbagai macam kebobrokan moral. Jumlahnya 13.
Baiklah dibaca kembali satu persatu dengan perhatian pada artinya:
1. pikiran jahat (=itikad busuk),
2. percabulan (=kelakuan birahi yang tak bisa dibenarkan),
3. pencurian,
4. pembunuhan,
5. perzinahan (=ketaksetiaan di antara suami istri),
6. keserakahan (=bibit korupsi dan kolusi),
7. kejahatan (=tindak kekerasan),
8. kelicikan (=tipu daya untuk mencelakan),
9. perbuatan tak senonoh (=tak menghargai perasaan orang lain),
10. iri hati (dulu terutama tenung dan santet karena iri akan keberhasilan orang lain),
11. hujat (=fitnah menjatuhkan nama orang),
12. kesombongan (sikap takabur, termasuk sikap kurang menghormati yang keramat),
13. kebebalan (tak bisa membeda-bedakan apa yang boleh dan tak boleh dikerjakan).
Yang pertama dan yang terakhir sebetulnya erat berhubungan. Bila orang tak punya sikap batin bijak (kebusukan no. 13), maka yang ada dalam pikirannya ialah rencana yang akhirnya buruk belaka (kebusukan no. 1). Tiadanya kebijaksanaan batin tadi akan menelurkan 11 kebusukan yang didaftar di antaranya.
Bagi pembaca zaman itu, cukup jelas bahwa Yesus tidaklah mendaftar kebusukan begitu saja, melainkan mengajar mereka dimana benih kebusukan sendiri merajalela, yakni dalam batin manusia yang tak peduli lagi akan sisi-sisi rohani. Batin yang demikian itu memupuk kebusukan. Bagaimana keluar dari sana? Tumbuhkan kepekaan rohani sehingga kebusukan tak subur lagi. (AG)
D.
INSPIRASI PAGI LBI
Antara Najis dan Tahir
Ketika agama menjadi serangkaian peraturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh, ada kecenderungan untuk menjalankannya semata-mata demi peraturan. Akibatnya, agama lalu kehilangan inti dan rohnya. Kecenderungan inilah yang terjadi pada diri orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, sehingga mereka dikecam oleh Yesus sebagai orang munafik. Mereka terlalu menekankan peraturan Taurat mengenai ritual pembersihan tangan, sehingga mengabaikan semangat atau roh dari hukum Taurat, yakni cinta kasih dan keadilan.
Yesus mengangkat contoh ritual kurban yang oleh orang Farisi dan ahli-ahli Taurat digunakan untuk mengabaikan perintah Allah untuk menghormati orang tua. Jika seseorang telah bersumpah untuk mempersembahkan kurban kepada Allah, sumpah itu harus ditaati karena hukum Musa memerintahkannya demikian (Bil. 30:2; Ul. 23:21-23).
Namun, Yesus menilai bahwa sumpah untuk berkurban tidak boleh mengesampingkan dan mengabaikan perintah Allah untuk menghormati orang tua. Penilaian ini selaras dengan para nabi yang menghukum orang Israel karena mereka menaati hukum untuk mempersembahkan kurban, tetapi gagal untuk mencintai dan menaati perintah Allah dengan hati mereka (Yes. 11:11-17; Yer. 7:22-23; Hos. 6:6; Am. 5:21-27).
Yesus sendiri telah memperlihatkan semangat atau roh yang benar dari hukum Taurat. Bagi-Nya, semangat atau roh itu terletak pada cinta kasih dan keadilan terutama bagi kaum terpinggirkan dan terbuang. Yesus melanggar hukum tahir-najis ketika mengulurkan tangan-Nya dan menyentuh orang kusta (Mrk. 1:41), ketika membiarkan wanita yang sedang mengalami pendarahan menyentuh-Nya (Mrk. 5:27-28), dan ketika memegang tangan seorang gadis yang telah meninggal (Mrk. 5:41). Melalui tindakan-tindakan itu, Yesus menunjukkan bahwa peraturan tahir-najis tidak pernah dimaksudkan untuk melarang tindakan kasih sayang dan keadilan. Ketika hal-hal yang dinilai najis disentuh-Nya, Yesus tidak menjadi najis, tetapi malah membuat orang yang dianggap najis menjadi tahir. Inilah kekuatan transformatif Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus. (AJ)
E.
Memelihara Kualitas Hati
01. Kelompok Farisi merupakan sekte puritan dalam masyarakat Yahudi yang mati-matian memperjuangkan pelaksanaan Hukum Taurat secara murni dan konsekuen serta memegang teguh tradisi lesan sebagai penjelasan atau tafsir dari Taurat. Kata Farisi berasal dari bahasa Ibrani p'rushim atau lefareish, yang berarti “penjelasan” atau “menjelaskan”. Jadi orang Farisi berarti "yang menjelaskan".
Dalam naskah-naskah kuno yang ditemukan di Laut Mati, kaum Farisi dikatakan sebagai pengamat pelaksanaan hukum yang sangat teliti sampai hal-hal yang sangat kecil dan detail. Mereka memiliki kerangka berpikir bahwa Allah mencintai orang yang taat melaksanakan hukum dan menghukum yang tidak patuh. Keprihatinan utama kaum Farisi adalah pembaharuan Israel dalam bidang hukum. Sebagai kelompok pemimpin spiritual, komunitas Farisi berkembang sekitar abad ke 2 SM. Komunitas ini merupakan perkembangan dari kelompok Hasidim, kelompok yang menganggap diri sebagai orang yang taat beragama dan saleh. Untuk mempertahankan kesalehan hidup kaum Hasidim memisahkan diri dari orang biasa yang dipandang najis, agar tidak terpengaruh kenajisan. Maka kata Farisi sering juga diterjemahkan "yang memisahkan diri”.
Menurut ahli sejarah Flavius Yosefus, pada masa pemerintahan raja Yohanes Hirkanus (135-104 SM), kaum Farisi juga memiliki pengaruh di bidang politik, terutama pada masa Salome Alexandra (76-67 SM). Namun, setelah Roma berkuasa pada tahun 63 M, kaum Farisi kembali pada perannya sebagai ahli hukum dan mediator atau penengah dalam perselisihan mengenai pelaksanaan hukum. Meskipun demikian ada juga pemimpin Farisi seperti Rabi Simeon ben Gamaliel I dan beberapa rabi lainnya yang memimpin pemberontakan terhadap Roma pada tahun 66-70 M dan tahun 132-135 M.
2. Semangat hidup orang Farisi berakar pada zaman Ezra dan Nehemia yang ingin mengembalikan Taurat sebagai hukum utama dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka meyakini bahwa Pembuangan ke Babel adalah akibat kegagalan Israel mematuhi hukum Taurat.
Pelaksanaan Taurat merupakan tugas dan kewajiban setiap orang Yahudi maupun seluruh bangsa dalam kebersamaan. Selain hukum tertulis ada hukum lisan dan adat istiadat yang merupakan tafsiran para rabi atas hukum Taurat sebagai usaha kontekstualisasi. Kaum Farisi juga menekankan ketaatan pada hukum tak tertulis atau tradisi lisan dan adat istiadat. Tradisi lisan (Oral Law) berfungsi untuk menjaga agar umat Israel tidak melanggar Taurat.
Kerap, terjadi perbedaan dalam tafsiran hukum yang menimbulkan perdebatan di antara para rabi. Perdebatan antara Yesus dengan orang-orang Farisi dan ahli Taurat lebih berkisar pada tradisi lesan dan adat istiadat nenek-moyang itu. Kepandaian kaum Farisi dalam menafsir ini diperoleh dari pendidikan akademis seperti Sekolah Hillel dan Shammai yang berkembang pada abad ke-1 SM.
3. Dalam pandangan Yahudi dunia ini terbagi menjadi dua yakni tahir (clean atau pure) dan najis (unclean atauimpure). Sebagian orang merasa diri baik dan bersih sehingga layak di hadapan Tuhan, sebagian yang lain dianggap kotor, dan tidak layak di hadapan Tuhan maka harus dijauhi dan dikucilkan dalam kehidupan bersama. Kenajisan terjadi atau dialami bisa karena keadaan (wanita yang sedang haid atau melahirkan, orang yang sakit kusta dan orang mati), atau karena tindakan misalnya: hubungan seks, ikut serta dalam penyembahan dewa asing, menyentuh mayat atau makam (Bil 19:16), makan binatang-binatang tertentu mis. ular, babi hutan, segala binatang yang tidak bersirip dan tidak bersisik di dalam air, segala binatang yang merayap dan bersayap dan berjalan dengan keempat kakinya, kecuali yang mempunyai paha di sebelah atas kakinya untuk melompat di atas tanah (Im 11:11-21) dsb.
Kenajisan itu menular (Im 15:4-12; 20-28) karena itu orang atau benda yang najis harus dijauhi. Najis berarti tidak suci, tidak layak untuk berkomunikasi dengan Allah Yang Mahakudus dan karenanya tidak pantas bergabung dengan umat dalam ibadat. Dalam Perjanjian Lama nampaknya masalah najis atau tahir bukan soal moral yakni baik atau jahat tetapi soal kultis, soal tabu atau larangan yang berasal dari adat istiadat. Kenajisan bisa dihapus dengan upacara pentahiran. Upacara pentahiran itupun tidak dimaksudkan untuk memajukan moralitas atau kesusilaan, tetapi untuk menguduskan bangsa agar pantas menjadi milik Allah yang kudus (Im 11:44; 20:7).
Pada zaman Yesus, Yudaisme telah terjebak dalam semangat formalisme karena memberikan perhatian yang berlebih-lebihan hanya pada masalah kebersihan ritual. Akibatnya mereka menjadi hipokrit atau munafik. Ibadat menjadi sangat formal dan penuh dengan kepura-puraan. Muncullah kecenderungan STMJ smile emotikon Sembahyang Terus, Maksiat Jalan). Mengutip kritikan nabi Yesaya, dengan tajam Yesus menyoroti kemunafikan mereka, "Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia." (ay. 6-8).
04. Mengkritisi semangat formalisme yang penuh kepura-puraan itu Yesus memberikan makna baru pada pemahaman soal tahir dan najis bahwa sejatinya masalah tahir dan najis itu bukan hanya masalah kultis atau peribadatan tetapi lebih merupakan masalah moral, dan menentukan kualitas pribadi yakni baik atau jahat. Bahkan Yesus lebih mengutamakan kekudusan moral daripada kekudusan kultis.
Dalam banyak kasus, kekudusan kultis tidak ada maknanya dibandingkan dengan kekudusan moral. Yesus tidak menolak adanya distingsi antara tahir dan najis tetapi menggeser sumber kenajisan. Kenajisan bukan berasal dari situasi atau keadaan di luar diri kita tetapi justru berasal dari hati kita dan menuntut tanggungjawab secara pribadi, “Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskan dia! Tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskan dia” (ay. 15).
Setelah menyatakan bahwa semua makanan halal (ay. 19), Yesus menegaskan bahwa sumber kenajisan bukan makanan tetapi hati. Sebab dari dalam hatilah timbulnya "pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan." (ay. 22-23) pokoknya semua kejahatan yang membuat manusia kotor, tidak bermoral, tidak kudus, berdosa. Tindakan dosa, pikiran dosa, maksud jahat lebih meracuni dan mengotori manusia daripada bersentuhan dengan barang atau orang yang najis.
Pada kesempatan lain Yesus mengungkapkan bahwa hati bisa menjadi sumber kebaikan tetapi juga bisa menjadi sumber kejahatan, “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati. Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaan (hati)nya yang baik, dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaan (hati)nya yang jahat” (Mat 12:34b-35). Kualitas hati yang meluap melalui kata dan perbuatan yang menjadikan kita layak atau tidak layak di hadapan Tuhan. Hati menjadi medan perjumpaan manusia dengan Allah. Bertobat artinya masuk ke dalam kekudusan Allah.
05. Untuk menjaga agar kita tetap tahir, kita harus memelihara hati agar tetap bersih dan jernih. Menghindarkan mata dari melihat hal-hal yang buruk, membiasakan diri hanya melihat sisi yang positif dalam setiap pribadi yang dijumpai dan setiap peristiwa yang dialami. Menghindarkan telinga dari gossip, dari kata-kata yang kasar dan kotor. Melatih pikiran untuk selalu berpikir positif dan menjauhi prasangka buruk. Karena tidak melihat dan mendengar yang buruk hati menjadi suci. Dan dari hati yang bersih meluap keluar melalui mulut kita kata-kata yang baik dan bijak. Hati yang bersih itu mendorong kita untuk melakukan hanya perbuatan yang baik.
Pertanyaan yang selalu harus kita tanyakan setiap kali berpikir, berkata dan bertindak adalah apakah (pikiran, kata-kata, tindakan) itu baik untukku dan saudaraku? Apakah itu pantas di hadapan kemuliaan-Nya? Hati yang bersih membuat kita mengalami kedamaian karena sibuk mencintai, tidak berfokus pada diri sendiri tetapi selalu mempunyai waktu dan bersedia melayani untuk membahagiakan orang lain.
06. Yesus mengingatkan bahwa diri kita sendirilah yang menjadi pusat kendali (locus of control) tindakan. Maksudnya kita sendirilah yang mestinya menentukan atau memegang kendali atas apa yang terjadi dengan diri kita, bukan orang lain atau situasi di luar. Kita sendirilah yang menentukan kualitas hidup, nasib dan masa depan kita.
Orang yang mempunyai pusat kendali internal tidak mudah menyalahkan orang lain atau keadaan di luar dirinya apabila mengalami pengalaman negatif. Baginya kegagalan, misalnya, tidak disebabkan oleh keadaan yang kurang menguntungkan, nasib buruk yang sedang dialami, tidak adanya peluang atau kesempatan. Kegagalan lebih diyakini sebagai akibat kurangnya ketekunan dan keseriusan dalam berusaha, kemampuan atau kompetensi pribadi yang masih kurang memadai. Kegagalan hanyalah sebuah keberhasilan yang tertunda asal bersedia meningkatkan kemampuan, kreatif menciptakan peluang, tekun dan berani berusaha dengan cara yang baru dan tidak mudah putus asa.
Lebih mudah mana berusaha mencegah setiap mulut agar tidak berbicara sembarangan atau menjaga hati agar tidak mudah tersinggung? Karena kitalah yang menentukan hidup ini maka marah, dendam, sakit hati, tersinggung, kecewa adalah pilihan dan keputusan kita dan bukan ditentukan oleh oranglain. Lebih bermanfaat berpikir, berbicara dan bertindak positif daripada memiliki hati yang sensitif dan mudah tersinggung.
07. Sebagian masyarakat kita nampaknya masih tergolong orang yang mempunyai pusat kendali eksternal sehingga selalu menyalahkan orang lain bila sedang mengalami masalah atau kesulitan.
Di saat mengalami kebanjiran atau kekeringan selalu menyalahkan “pihak lain” entah pemerintah yang tidak mampu mengantisipasi bencana atau alam yang tidak bersahabat. Ketika perekonomian nasional terpuruk, pemerintah lebih senang menyalahkan faktor-faktor luar negeri (seperti kenaikan tingkat suku bunga bank-bank luar negeri, menguatnya nilai tukar dollar, pembatasan import oleh negara-negara maju dsb.) daripada merekayasa perekonomian dalam negeri untuk mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Akibat dari orang yang mempunyai pusat kendali eksternal adalah selalu merasa diri benar dan meletakkan beban kesalahan pada orang lain, malas bekerja dan cenderung mencari jalan pintas : membeli ijazah atau gelar, membeli suara (money politic) agar dapat menang dalam PILKADA, menyuap atau membeli hakim agar menang dalam berperkara di pengadilan. Kalau tidak bisa dibeli dengan uang, memaksakan kehendak dengan kekerasan dan mengandalkan kekuatan fisik.
Karena Tuhan dianggap sebagai faktor dari luar diri yang menentukan hidup maka Tuhan dibutuhkan sejauh kita memerlukan-Nya: ingin lulus ujian atau mendapatkan pekerjaan, rajin mengikuti Perayaan Ekaristi Harian. Setelah semua kebutuhan terpenuhi atau pun tidak kunjung terpenuhi, doa sudah tidak diperlukan lagi, doa dianggap sia-sia, membosankan dan menghabiskan waktu. Di saat mengalami kesulitan atau masalah dalam hidup, doa novena atau rosario tidak pernah berhenti didaraskan. Setelah masalah selesai, kebiasaan berdoa pun selesai.
Mestinya kegiatan keagamaan bukan merupakan “pameran kesalehan” untuk pencitraan serta dilakukan sejauh membutuhkan. Mestinya doa itu merupakan nafas kehidupan yang harus dilakukan tanpa pernah berhenti. Seperti nafas, kita tidak bisa hidup tanpa doa.
Berkah Dalem.
======
KUTIPAN TEKS MISA:
Kewajiban-kewajiban keluarga atau tugas-tugas sosial yang penting memaafkan secara sah perintah mengikuti istirahat pada hari Minggu --- Katekismus Gereja Katolik, 2185
Antifon Pembuka (Mzm 85:3.5)
Kasihanilah aku, ya Tuhan, sebab kepada-Mulah aku berseru sepanjang hari. Engkau baik hati, ya Tuhan, dan suka mengampuni, kasih setia-Mu berlimpah bagi semua orang yang berseru kepada-Mu.
Have mercy on me, O Lord for I cry to you all the day long. O Lord, you are good and forgiving, full of mercy to all who call to you.
Miserere mihi Domine, quoniam ad te clamavi tota die: quia tu Domine suavis ac mitis es, et copiosus in misericordia omnibus invocantibus te.
Doa Pembuka
Allah yang Mahakuasa, Engkaulah sumber dan asal segala yang baik. Bangkitkanlah dalam diri kami kasih akan Dikau dan tambahkanlah iman kami. Semoga Engkau memupuk benih-benih yang baik dalam diri kami dan memeliharanya sampai menghasilkan buah. Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami, yang bersama Dikau, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa kini dan sepan-jang masa. Amin.
Bacaan dari Kitab Ulangan (4:1-2.6-8)
"Janganlah kamu menambahi apa yang kuperintahkan kepadamu; dengan demikian kamu berpegang pada perintah Tuhan."
Di padang gurun seberang Sungai Yordan Musa berkata kepada bangsanya, “Hai orang Israel, dengarlah ketetapan dan peraturan yang kuajarkan kepadamu untuk dilakukan, supaya kamu hidup, dan memasuki serta menduduki negeri yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allah nenek moyangmu. Janganlah kamu menambahi apa yang kuperintahkan kepadamu, dan janganlah kamu menguranginya; dengan demikian kamu berpegang pada perintah Tuhan, Allahmu, yang kusampaikan kepadamu. Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaan dan akal budimu di mata bangsa-bangsa. Begitu mendengar segala ketetapan ini mereka akan berkata: Memang bangsa yang besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi! Sebab bangsa besar manakah yang mempunyai allah yang demikian dekat kepadanya seperti Tuhan, Allah kita, setiap kali kita berseru kepada-Nya? Dan bangsa besar manakah yang mempunyai ketetapan dan peraturan demikian adil seperti seluruh hukum yang kubentangkan kepadamu pada hari ini?
Demikianlah sabda Tuhan
U. Syukur kepada Allah.
Mazmur Tanggapan, do = f, ¾, PS 848
Ref. Tuhan siapa diam di kemah-Mu, siapa tinggal di gunung-Mu yang suci?
Ayat. (Mzm 15:2-3a.3cd-4ab.5)
1. Yaitu orang yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya; yang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya.
2. Yang tidak berbuat jahat terhadap teman, dan tidak menimpakan cela kepada tetangganya; yang memandang hina orang yang tercela, tetapi menjunjung tinggi orang-orang yang bertakwa.
3. Yang tidak meminjamkan uang dengan makan riba, dan tidak menerima suap melawan orang yang tak bersalah. Siapa yang berlaku demikian tidak akan goyah selama-lamanya.
Bacaan dari Surat Rasul Yakobus (1:17-18.21b-22.27)
"Hendaklah kamu menjadi pelaku firman."
Saudara-saudaraku yang terkasih, setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang. Pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan pertukaran. Atas kehendak-Nya sendiri Ia telah menjadikan kita oleh firman kebenaran, supaya pada tingkat yang tertentu kita menjadi anak sulung di antara semua ciptaan-Nya. Terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu. Hendaklah kamu menjadi pelaku firman, dan bukan hanya pendengar! Sebab jika tidak demikian, kamu menipu diri sendiri. Ibadah sejati dan tak bercela di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemari oleh dunia.
Demikianlah sabda Tuhan
U. Syukur kepada Allah.
Bait Pengantar Injil, do = f, 2/4, PS 956
Ref. Alleluya, alleluya, alleluya. Alleluya, alleluya, alleluya.
Ayat. (Yak 1:18)
Atas kehendak-Nya sendiri, Allah menjadikan kita oleh firman kebenaran, supaya kita menjadi anak sulung di antara semua ciptaan-Nya.
Inilah Injil Yesus Kristus menurut
Markus (7:1-8.14-15.21-23)
"Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia."
Pada suatu hari serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus. Mereka melihat beberapa murid Yesus makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. Sebab orang-orang Farisi – seperti orang-orang Yahudi lainnya – tidak makan tanpa membasuh tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang. Dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas tembaga. Karena itu, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada Yesus, “Mengapa murid-murid-Mu tidak mematuhi adat istiadat nenek moyang kita? Mengapa mereka makan dengan tangan najis?” Jawab Yesus kepada mereka, “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sebab ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” Lalu Yesus memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka, “Dengarkanlah Aku dan camkanlah ini! Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskan dia! Tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskan dia! Sebab dari dalam hati orang timbul segala pikiran jahat, pencabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.”
Berbahagialah orang yang mendengarkan sabda Tuhan dan tekun melaksanakannya.
U. Sabda-Mu adalah jalan, kebenaran dan hidup kami.
Renungan
Cerita Injil hari ini memberikan gambaran tentang perjumpaan adat-istiadat Yahudi dan adat-istiadat yang dibawa oleh Yesus. Orang Yahudi berpegang teguh pada adat-istiadat seperti yang ada tertulis dalam Hukum Taurat. Tidak ada yang salah dalam adat itu. Menurut Yesus yang salah adalah pelaksanaannya yang mesti datang dari hati. Hukum dan adat mengatur kita manusia agar bisa hidup tertib namun dia dilaksanakan secara manusiawi.
Yesus mengajak orang-orang Farisi agar melihat nilai dibalik hukum. Hukum dibuat demi mengangkat suatu nilai tertentu dan hukum itu mesti dilaksanakan dengan hati. Maka, hukum itu dilaksanakan bukan demi hukum melainkan demi nilai dibalik hukum itu dan demi membangun relasi yang lebih mesra dengan Tuhan sebagai Pemberi hukum. Sifat munafik orang Farisi dan ahli Taurat sangat dikecam oleh Yesus. Pasalnya, antara perkataan dan perbuatan mereka tidak selaras. bahkan, mereka lebih taat pada adat istiadat manusia dan mengabaikan perintah Allah. Belum cukup orang Kristen mendengarkan dan menyerukan nama Tuhan. Ia harus melaksanakan apa yang didengarnya dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Allah. Orang seperti ini oleh Yesus dikatakan melakukan kehendak Bapa di surga. Banyak orang hanya menjadi pendengar firman dan bukan pelaku firman.
Antifon Komuni (Mzm 71:16-18)
Domine, memorabor iustitiƦ tuƦ solius: Deus, docuisti me a iuventute mea, et usque in senectam et senium, Deus, ne derelinquas me.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar